Fiat Voluntas Tua

Siapa Suruh Datang ke PNG? (Mans Werang, CM)

| 0 comments

“Setiap kali datang ke kota , atau kembali ke paroki, romo kami harus berjalan kaki selama tiga hari. Setiap hari dia dan rombongannya berjalan kaki maksimal tujuh sampai delapan jam, lalu berhenti mendirikan tenda di tengah hutan untuk melepaskan lelah, dan tidur. Keesokkan harinya dia melanjutkan perjalanan lagi”. Kata Elisabeth, salah satu umat dari paroki di pegunungan kepadaku saat kami sedang duduk di beranda pastoran. Romo kami tidak pernah pergi sendirian, dia selalu berjalan bersama umat. Segala perlengkapan misa dipikul oleh umat, makanan, termasuk panci untuk memasak nasi, dan terpal selalu setia menemani mereka. Meskipun jarak paroki sangat jauh, namun kehadirannya diantara umat membuat kami merasa sangat mencintai dia.

Paroki kami letaknya persis di atas pegunungan. Jarak stasi dengan pusat paroki juga sangat berjauhan antara satu dengan yang lain. Ada beberapa stasi letaknya di pegunungan atau bukit yang lain. Semuanya dapat ditempuh dengan berjalan kaki dua atau tiga hari. Namun yang membuat kami kagum adalah romo kami selalu setia mengunjungi kami. Kata Elisabeth lebih lanjut kepadaku. Pilihan hidup Bekerja di paroki pegunungan bukanlah hal yang gampang karena jarak paroki yang sangat jauh, sementara itu transportasi sangat sulit. Sebelumnya paroki ini dapat ditempuh dengan pesawat milik perusahan, namun sekarang pesawat jarang mendarat dan terbang ke pegunungan, karena kendala cuaca yang tidak memungkinkan pesawat mengadakan pendaratan. Maka satu-satunya sarana adalah berjalan kaki. Romo Masjon, smm berkisah kepadaku, kadang dia mengalami stress karena memikirkan harus berjalan kaki selama berhari-hari, sementara itu untuk mengunjungi umat di stasi yang lain juga harus berjalan kaki berhari-hari pula. Namun dia menjalani itu dengan penuh kesadaran bahwa inilah pilihan hidupnya untuk melayani umat. Ia bercerita bahwa ada stasi paling sulit ditempuh, karena setelah berjalan kaki selama dua hari melintasi satu pegunungan dengan pegunungan yang lain, dia harus menyeberang jembatan yang sangat panjang. Jembatan itu tidak dibuat dari kayu, tetapi hanya dibuat dari tali.

Suatu hari seorang dokter Australia ingin mengunjungi umat di pegunungan. Sebelum berangkat Romo Masjon menjelaskan situasi umat yang tinggal sangat terpencil dengan segala keterbatasan sarana prasarana. Dokter itu dengan yakin berkata bahwa dia sudah berpengalaman mendaki beberapa pegunungan, apalagi dia adalah seorang pencinta alam. Akan tetapi, tatkala dia mengalami sendiri bagaimana sulitnya berjalan kaki di atas batu-batu yang sangat licin, serta lumpur dan harus menyeberang jembatan dari tali, dokter itu berkata dengan nada kecewa bahwa ini adalah jalan yang paling sulit. Romo masjon berkata kepadanya bahwa inilah adalah bagian dari pekerjaannya yang harus diterima dan dijalankan sebagai bentuk pelayanannya kepada umat. Dokter itu mulai kagum atas penghayatan hidup dari romo Masjon. Ia kagum pada gaya pelayanan dan pilihan hidupnya. Ini semua mengubah pandangannya tentang keberadaan para imam. Ia membandingkan imam yang bekerja di Australia yang serba nyaman, namun ketika melihat dan mengalami sendiri hidup imam di Papua New Guinea , membuat dia mengerti makna pengorbanan seorang imam.

Uskup Robinson, uskup emeritus yang berasal dari Sydney suatu saat memberikan retret bagi para imam di Kiunga dan melihat sendiri kondisi kehidupan para imam, dia berkata “yang seperti ini belum saya temukan”, dia kagum sekaligus menantang orang untuk berpikir bagaimana para imam yang bekerja di Kiunga. Imam-imamnya tinggal sendirian dan harus melayani umat yang menyebar di mana-mana dengan kondisi yang memprihatinkan.

Kehadiran diantara umat selama enam tahun Romo Masjon berkarya di paroki pegunungan. Ia melihat situasi kemiskinan dari umat karena mereka tinggal dalam dunia yang terbelakang, dengan tingkat akses yang sangat sulit. Ia mencoba meyakinkan umat untuk memulai sesuatu yang baru demi perbaikan kesejahteraan hidup mereka. Ia menawarkan proyek menanam padi. Namun ia mendapat tantangan, karena mereka sudah terbiasa hidup dengan bergantung semuanya pada alam. Apalagi pandangan mereka bahwa makan nasi atas beras hanya dikonsumsi oleh orang kulit putih, dan dihasilkan dari pabrik. Bahkan selama hidup mereka, mereka tidak pernah makan nasi atau beras. Meskipun demikian, Romo Masjon tetap meyakinkan mereka bahwa suatu saat mereka dapat makan nasi dari hasil keringat mereka sendiri yaitu dengan menanam padi. Maka dia menggerakkan umat untuk membuka lahan. Semuanya dilakukan oleh umat secara bersama-sama. Umat berbondong-bondong datang ke kota untuk mengangkut parang, cangkul, dan membawanya ke kampung mereka. Kendati mereka harus menempuh perjalanan selama tiga hari tidak mengendurkan semangat mereka, karena keinginan yang besar untuk melihat padi dan ingin makan nasi. Kini mereka dapat melihat bagaimana rupanya padi itu. Mereka mulai menyadari bahwa mereka juga mampu melakukan sesuatu bagi perbaikan kesejahteraan hidup mereka.

Romo Masjon berkata kepadaku semuanya dia lakukan karena cintanya kepada mereka. Cintanya membuat dia melihat apa yang seharusnya sangat dibutuhkan oleh mereka. Cinta dan pengorabannya memberikan pesan yang berharga bagi hidup dan pelayanan sebagai seorang kristiani. Karya Roh Kudus Suatu saat dia tiba di pastoran tempat saya bertugas. Wajahnya kelihatan sangat lelah, tubuhnya sangat kurus. Ia berkata kepadaku bahwa dia baru saja sakit setelah menempuh perjalanan tiga hari. Saya menyambutnya dengan gembira. Sambil menikmati kopi panas, ia berkisah kepadaku tentang segala bentuk kesulitan dan tantangan yang dihadapinya.

Jarak paroki yang sangat jauh, harus menempuh perjalanan kaki berhari-hari di tengah hawa yang dingin dan hujan setiap saat, melihat penderitaan dan kemiskinan umat membuat dia merasa sangat lelah dan capeh. Apalagi dia tinggal sendirian di paroki. Kadang kala dia merasa kesepihan di tengah kesendirian, belum lagi menghadapi tuntutan umat yang beragam. Saya memilih diam saja dan mencoba mendengarkan senandung kisah kehidupan dan pelayanan di tempat tersembunyi. Dalam hatiku saya kagum akan bentuk pengorbanannya. Saya menyadari bahwa dia tidak mampu mengerjakan semuanya itu jika Roh Kudus tidak hidup di dalam karya dan pelayanannya.

Kisahnya juga menantang saya untuk merenungkan apa yang sedang saya lakukan untuk orang lain? Apakah Roh Kudus juga tinggal di dalam diriku? Saya menyadari saya tidak mampu bertahan dalam kondisi hidup yang demikian di paroki pegunungan dengan situasi yang memprihatinkan tersebut. Tetapi saya dapat melakukan tindakan-tindakan kecil kepadanya yakni tatkala dia datang ke paroki saya menyambutnya dengan gembira, duduk bersamanya dan mendengarkan kisahnya, memasak makanan bagi dia, dan berdoa bagi dia. Ketika saya bertanya kepadanya apa yang membuat dia mampu bertahan dalam kondisi demikian? Ia berkata kepadaku “siapa suruh datang ke PNG”? Mendengar itu saya hanya tertawa saja. Romo Masjon lalu melanjutkan pertanyaan itu dengan nyanyian, “siapa suruh datang ke PNG siapa suruh datang ke PNG ,sendiri suka sendiri rasa, aduhe sayang”. Malam itu dia memilih bermalam di pastoran.

Saya ingat pesan Paus Bediktus XVI untuk hari misi sedunia, 18 oktober 2009. Beliau menantang semua orang kristiani mentransformasi dunia dengan pewartaan injil, membawa terang Allah di dalam dunia dan berani memberitakan kerajaan Allah di dalam situasi yang sulit, serta mempersembahkan doa bagi karya-karya misi di tempat yang sulit dan bantuan finansial bagi gereja muda. Mungkin pewartaan injil di tempat yang sulit inilah yang sedang dilakukan oleh Romo Masjon yang melayani umatnya di paroki pegunungan.

Saya juga ingat kisah dan karya dari Romo Damien dari Molokai , seorang misionaris yang berkarya di daerah Hawai pada tahun 1873-1889 bagi para penderita kusta. Ia berkarya selama 16 tahun bersama dengan para kusta, dan akhirnya dia meninggal karena terinfeksi penyakit kusta. Hidupnya sangat menderita, karena hidup ditengah kesendirian, dan mengalami kesepihan yang luar biasa, merasa terisolasi dan terabaikan. Ia pernah meminta uskup dan superiornya untuk mengirim seorang romo untuk hidup bersamanya, namun itu tidak pernah terwujud, karena imam-imam takut terinfeksi penyakit kusta. Meskipun demikian, dia tetap tinggal sendirian dan melayani orang kusta, dan menemukan penghiburan yang tidak pernah meninggalkanya yakni Tuhan Yesus di dalam Ekaristi kudus. Pada kaki altar dia menemukan pribadi yang menyapanya yakni Tuhan Yesus.

Mendiang Paus Yohanes Paulus kedua pernah bertanya kepada Mother Theresa yang mendukung Romo Damien untuk dikanonisasikan menjadi beato. “Mujisat apakah yang telah dibuat oleh Romo Damien”?. Mother Theresa berkata “ Damien himself is a miracle”. Tatkala hari semakin larut malam, kami pergi ke tempat pembaringan kami masing-masing. Pengalaman Romo Masjon dan ingatan kisah tentang Romo Damien yang memberikan dirinya bagi pelayanan para kusta menantang saya untuk melihat sekeliling saya di mana saya hidup dan berkarya dan membuka mata hati saya untuk melihat kebaikan serta memiliki hati yang berbelas kasih bagi orang yang menderita.

Ketika saya meletakan kepalaku di atas di tempat tidur saya masih ingat nyanyian singkat dari romo MasJon “siapa suruh datang ke PNG”. Mungkin Romo Masjon sedang bertanya kepadaku “siapa suruh jadi pastor”? dan dia sendiri mengerti dengan benar makna sebenarnya menjadi imam.

The priest

To live in the midst of the world

Without wishing its pleasures

To be a member of each family

Yet belong to none.

To share all sufferings,

To penetrate all secrets

To heal all wounds

To have a heart of fire for charity

And a strong heart for chastity

To teach and to pardon

Console, and bless always

What a life

And it is yours

O priest of Jesus.

*Melayani suku awin, pedalaman Papua New Guinea

Leave a Reply

Required fields are marked *.