Why he died and not me? Kata Bapak Uskup Gilles Cote yang sedang berbaring di rumah sakit dengan luka bakar di bagian tubuh dan tangannya, setelah pesawat terbakar dan jatuh di sungai. Pesawat yang jatuh itu berukuran kecil, yang melayani penerbangan antar paroki di keuskupan Kiunga dengan kapasitas penumpang lima orang. Sedangkan Pilot pesawat itu adalah Romo Butch, smm seorang imam Montfort dari Kanada. Para penumpang diantaranya adalah Sr. Pierrette Carignan, dw (Daughter of Wisdom), dua orang ibu, seorang bayi, dan bapak uskup. Tatkala pesawat lepas landas dari kampung Membok ternyata pesawat tidak dapat naik di atas ketinggian, dan saat itu pesawat mulai menghantam pucuk dan ranting dari pohon besar. Tampak baling-baling pesawat dan mesin pesawat mulai terbakar.
Para penumpang mulai gelisah dan panik, sedangkan Romo Butch berusaha untuk mencari tempat pendaratan sementara, namun semuanya adalah hutan dengan pohon-pohon besar. Dalam keadaan terbakar, dia segera memilih untuk mendarat di atas sungai. Saat pesawat yang terbakar berada di sungai, Romo Butch meminta bapak uskup dan para penumpang untuk melepaskan sabuk pengaman mereka. Bapak uskup yang duduk disamping pilot dan dua orang ibu yang berada di belakang bapak uskup juga segera melepaskan sabuk pengaman dan berusaha mengeluarkan diri mereka dari pesawat dalam keadaan terbakar di tubuh dan tangannya dan masuk ke dalam air sungai, sedangkan Suster Pierrette Carignan, Dw, yang duduk dibelakang pilot karena panik tidak dapat melepaskan sabuk pengamannya.
Bapak uskup segera menyelam ke dalam sungai untuk menghindari pesawat yang terbakar dan tubuhnya yang sedang terbakar. Ketika dia naik ke atas permukaan dan berusaha mencari romo Butch, tampak api terbakar di atas permukaan sungai. Rupanya minyak dari pesawat itu tumpah di atas sungai, menyebabkan air di atas permukaan sungai juga ikut terbakar bersamaan dengan pesawat yang sedang terbakar. Orang-orang yang berada di pingir sungai segera lari ke tempat pesawat yang sedang terbakar, mereka akhirnya menemukan tubuh romo Butch, dan suster Pierrette, serta bapak uskup. Kemungkinan Romo Butch dan Sr. Pierette, dw terlambat membuka sabuk pengaman mereka saat pesawat terbakar di atas sungai. Romo Butch dan Suster Pierrette, dw akhirnya meninggal dunia, bersama dengan seorang bayi yang tidak ditemukan tubuhnya. Sedangkan dua orang ibu, dan Bapak uskup dapat selamat namun dalam kondisi yang sangat parah karena tubuh mereka terbakar. Segera beberapa umat memberitakan peristiwa jatuhnya pesawat ini melalui radio, dan setelah itu satu helikopter datang untuk mengadakan evakuasi.
Evakuasi pertama yang dilakukan adalah membawa bapak uskup, dan kedua wanita yang dalam kondisi yang parah ke rumah sakit, tetapi melalui perdebatan. Kebanyakan umat memaksa pilot untuk membawa jenasah Romo Butch dan suster Pierrete, dw ke kiunga. Namun, Pilot menolak permintaan mereka karena kalau dia tidak segera membawa bapak uskup dan kedua wanita itu, maka korbannya bukan hanya dua orang tetapi menjadi lima orang. Bapak uskup yang sedang dalam keadaan sakit parah akibat tubuh dan tangannya yang terbakar segera bicara , “please save my life”. Tatkala umat mendengar ungkapan hati bapak uskup, mereka akhirnya mengerti dengan jelas bahwa pertama-tama yang harus segera dilakukan adalah menyelamatkan bapak uskup dan kedua wanita itu ke rumah sakit.
Berita tentang jatuhnya pesawat itu menguncang para misionaris dan umat di keuskupan Kiunga. Sr. Denis Renauld, dw (Daughter of Wisdom) adalah sepupu dari bapak uskup Gilles Cote, smm merasa sungguh-sungguh terpukul. Ia merasa sedih, panik dan menangis, karena dia mengetahui bahwa salah satu penumpang di dalamnya adalah uskup Gilles Cote. Pada awalnya Sr. Denis, dw tidak percaya bahwa pesawat kecil itu mengalami kecelakaan dan jatuh, karena Romo Butch adalah satu-satunya pilot yang berpengalaman, dan mampu menerbangkan dan mendaratkan pesawat dalam situasi atau cuaca buruk sekalipun. Kemahiran menganalisa lapangan udara, dan cuaca membuat dia merupakan satu-satunya pilot di Papua New Guinea yang mampu mendarat dan menerbangkan pesawat di mana pun juga. Diduga Romo Butch dalam kondisi lelah dan capeh, sehingga keputusan untuk menerbangkan pesawat dalam cuaca dan kondisi tersebut kurang menguntungkan mereka.
Wujud solidaritas
Tatkala jenasah Romo Butch,smm dan Sr. Pierrette, dw yang meninggal dibawah oleh helikopter tiba di lapangan udara Kiunga, puluhan umat dan misionaris sudah memadati Kiunga. Umat sungguh-sungguh merasa kehilangan seorang misionaris, sekaligus seorang pilot yang banyak membantu karya untuk pengabaran injil. Untuk membendung keinginan tahuan umat, para misionaris berusaha memagari dengan bergandengan tangan satu dengan yang lain. Beberapa saat jenasah Romo Butch dan Suster diturunkan dari pesawat, lima pesawat datang dan terbang di atas udara mengitari bandara Kiunga beberapa kali untuk memberikan penghormatan terakhir kepada Romo Butch yang adalah rekan pilot dan satu-satunya pilot yang menjadi tempat mereka belajar dan bertanya bagaimana harus menerbangkan dan mendaratkan pesawat.
Umat dari berbagai kampung berdatangan ke Kiunga, mengucapkan turut berbelangsungkawa, berdoa bagi Romo Butch, dan Sr. Pierrette Carignan, DW yang meninggal dunia. Semua kantor dan instansi pemerintah juga tutup sebagai ungkapan belangsungkawa dan memberi penghormatan terakhir kepada Romo Butch yang dikenal ramah, dan memiliki semangat pelayanan dan berkorban bagi umat di keuskupan Kiunga, khususnya di daerah yang sangat terpencil. Masing-masing umat membawa makanan dan memberi makanan untuk para misionaris.
Ari Rose, salah satu umat yang hadir dan bersama para misionaris berkata kami sungguh-sungguh merasa kehilangan meninggalnya dua misionaris secara tragis dari pesawat tersebut. Sedangkan di beberapa paroki di mana SusterDaughter of Wisdom berkarya, umat juga datang mengucapkan belangsungkawa dan berdoa bersama para suster. Selama beberapa hari umat tetap bersama para misionaris monfort, berdoa dan memberikan dukungan kepada mereka. Kehadiran umat memberi pesan yang berharga tentang arti dan makna solidaritas. Kedua misionaris yang meninggal itu akhirnya dimakamkan di dekat Gereja Katedral lama.
Sedangkan Bapak uskup Gilles Cote, saat peristiwa jatuhnya pesawat itu masih seorang Romo muda berbaring di rumah sakit dalam keadaan luka terbakar di tubuh dan tangannya. Hari-harinya di rumah sakit merupakan hari-hari penderitaan. Beliau tidak dapat tidur dengan nyenyak, tidak hanya karena menahan rasa sakit, tetapi mengalami pergulatan batin atas peristiwa tragis yang terjadi pada dirinya dan dua orang rekan misionaris yang meninggal dunia tersebut. Pergulatan batinnya bermuara para pertanyaan “mengapa Romo Butch yang meninggal dan bukan aku? Mungkin ini sebuah pertanyaan menggugat, atau juga mungkin sebuah tanda penyelesan mengapa romo Butch terlalu cepat meninggal dunia pada hal tenaganya masih dibutuhkan oleh umat dan keuskupan?
Namun akhirnya Romo Gilles Cote, smm, sampai pada permenungan bahwa sebenarnya misinya belum berakhir. Ia dapat selamat dari pesawat merupakan rencana Tuhan bagi hidupnya karena Tuhan sedang mempersiapkan dia untuk sebuah rencana besar. Rencana Allah bukanlah rencana manusia, jalannya Allah bukanlah jalannya manusia. Apa yang manusia pikirkan sebagai suatu malapetaka atau kegagalan, namun Allah justru menggunakan cara itu untuk suatu maksud tertentu. Dalam proses penyembuhan, Romo Gilles Cote memilih kembali ke Kanada.
Setelah satu tahun mengalami proses penyembuhan atas peristiwa traumatis, dia kembali lagi ke keuskupan Kiunga melanjutkan karya perutusannya dan pewartaan injil dengan semangat giat, sampai akhirnya dia diangkat menjadi uskup kedua untuk keuskupan Kiunga. Wilayah keuskupannya merupakan daerah karya yang paling luas, sekaligus wilayah keuskupan yang paling miskin, karena sarana transportasi yang sangat terbatas, dan akses tempat tinggal umat yang sangat menantang dan jauh. Peristiwa jatuhnya pesawat secara tragis itu merupakan titik awal bagi dia untuk menjadi seorang imam dan uskup yang rendah hati.
Simplisitas Hidup
Sebagai seorang Monfortan, gaya kepemimpinan bapak uskup Gilles Cote sungguh-sungguh dijiwai spiritualitas Santo Monfort yang mengatakan bahwa jika kita tidak mampu mengambil resiko untuk Tuhan, kita tidak dapat melakukan apa pun juga untuk Tuhan. Ia tetap ingat jatuhnya pesawat itu merupakan pengalaman yang tak terlupakan dan tragis, tetapi untuk Tuhan dia berani mengambil resiko apapun yang dialami dalam karya dan pengembalaannya sebagai seorang uskup. Ia menjadi seorang pribadi yang rendah hati dan sederhana. Kerendahan hati dan kesederhanaannya ditunjukkan dalam sikap dan tindakannya. Ia melayani siapa saja yang datang ke keuskupan. Setiap kali dia selalu melayani para tamunya, menyiapkan piring, sendok, gelas, bahkan mencuci piring bersama para romo atau bersama para tamu.
Suatu potret hidup seorang uskup yang simpel dan rendah hati. Rumah keuskupannya sangat sederhana, dan terbuka untuk siapa saja yang ingin bertemu dengan dia. Ia sangat dekat dengan setiap orang terlebih dengan orang miskin, bahkan ia berani berjuang untuk membela hak-hak orang-orang miskin. Beberapa kali dia berbicara sangat keras terhadap pemerintah, dan perusahan yang kurang memperhatikan hak-hak masyarakat sipil. Ia juga berbicara di tingkat internasional terhadap hak asasi dan martabat kaum pengungsi. Ia melakukan kunjungan ke semua paroki-paroki di keuskupan Kiunga. Biasanya ia memilih paroki yang sangat terpencil, dan sulit dijangkau dengan berjalan kaki berjam-jam.
Umat merasa gembira karena gembala umat datang mengunjungi mereka, meskipun mereka tinggal di gunung, atau di daerah terpencil. Umat merasa dihormati dan dihargai, karena bapak uskup tinggal di rumah mereka yang sederhana, makan sagu, dan pisang, bahkan kadangkala harus tidur di tengah hutan bersama umatnya. Umat merasa disapa, dan diteguhkan iman dan harapan mereka. Ia bahkan pergi mengunjungi sebuah daerah yang sangat terpencil di mana umatnya menderita penyakit kusta, tidak tersedianya fasilitas kesehatan, air dan makanan sangat sulit didapatkan. Kehadirannya di tengah umat memberi pesan yang berharga. Kedekatannya dengan orang miskin merupakan cermin dari penghayatan hidupnya sebagai seorang monfortan. Maka beliau selalu mendorong para imam dan petugas gereja untuk mengadakan kunjungan umat, khususnya di daerah yang sangat terpencil. Ia mengetahui bahwa untuk melakukan kunjungan umat menghabiskan biaya yang tidak sedikit, dan meminta pengorbanan yang ekstra, karena medan karya pastoral yang sangat berat di setiap paroki. Akan tetapi dia selalu membesarkan keyakinan para petugas gereja bahwa melakukan kunjungan langsung, menyapa, mendengarkan kerinduan hati umat adalah suatu bentuk pewartaan iman yang menyapa hati mereka. Umat merasa diperhatikan kebutuhan hidup rohani. Ini adalah bentuk kemewahan umat karena gembala umat datang bertemu, berbicara, makan bersama dan melayani mereka.
Trust in God
Suatu saat, kami diajak oleh Bapak Uskup untuk mengunjungi kuburan Romo Butch, smm dan Sr. Pierette, dw dibelakang gereja katedral lama. Ketika kami semua berada di pusara, bapak uskup mengajak kami berdoa untuk mereka yang sudah dipanggil oleh Allah. Ia menunjukkan kepada kami pusara kedua misionaris yang meninggal akibat kecelakaan tragis pesawat terbang. Disitu tertera tanggal, 19 januari 1990, tanggal di mana pesawat mengalami kecelakaan setelah tidak dapat naik dan menghantam ranting pohon besar dalam keadaan terbakar, dan akhirnya jatuh di sungai. Selesai berdoa, masing-masing romo datang mendekat ke pusara Romo Butch, smm and Suster Pierette, Dw. Saya tidak tahu pergulatan apa yang dialami oleh masing-masing romo yang mengunjungi pusara para misionaris yang meninggal itu. Namun, ingatan sejarah akan jatuhnya pesawat itu tetap dikenang, karena mengisahkan tentang heroisme para misionaris yang memberikan diri mereka secara total untuk pelayanan umat di Western Province dengan segala kesulitan dan tantangannya. Kesulitan dan tantangan itu masih akan dihadapi oleh para pelayan yang melayani umat di keuskupan Kiunga. Sulitnya sarana transportasi, bentuk kemiskinan umat, dan tempat tinggal umat yang sangat terpencil masih juga dirasakan sampai saat ini. Namun, kesetiaan para pelayanan masih tumbuh dan mekar di sana, karena keyakinan dan kepercayaan yang teguh kepada Allah.
Saya ingat pesan Paus Benediktus XVI, pada pekan doa sedunia untuk panggilan yang ke-46, tanggal 3rd May 2009, beliau mengatakan “dear friends, do not become discouraged in the face of difficulties and doubts; trust in God and follow Jesus faithfully and you will be witnesses of the joy that flows from intimate union with him. Imitating the Virgin Mary whom all generations proclaim as blessed because she believed (cf. Luc.1:48), commit yourselves with every spiritual energy, to realize the heavenly Father’s plan of salvation, cultivating in your heart, like her, the ability to be astonished and to adore him who is mighty and does “great things”, for Holy is his name (cf. Luc. 1:49).
Mungkin tidak banyak yang tahu tentang jatuhnya pesawat kami, tetapi untuk itulah sejarah ditulis ulang, hendak mengingatkan kami bahwa jatuhnya pesawat itu tetap dikenang, karena ini merupakan bagian dari sejarah bagaimana Injil tentang Tuhan Yesus tetap diwartakan sampai saat ini. Dalam mewartakan kasih tentang Tuhan Yesus, berbagai kesulitan dan tantangan masih selalu kita hadapi, dan mungkin sejarah akan mencatat semua pergulatan itu, mungkin hanya bersifat pribadi, tetapi mungkin juga akan dibagikan. Saya memilih untuk membagikan sejarah ini, karena ini momentum untuk melihat dan belajar ulang seperti yang dihayati dan diimani oleh Santa Perawan Maria.
Mans Werang, CM….Melayani suku awin, Papua New Guinea