Fiat Voluntas Tua

Hamba Yang Tidak Berguna

| 1 Comment

“Kami hanya melakukan apa yang kami harus lakukan”

Ada perbedaan besar antara status hamba dan tuan, sang pemilik hamba-hamba. Tuan adalah yang punya kuasa atas hidup matinya hamba itu, terutama karena ia telah membeli dan menebusnya dari pasar ‘budak’. Maka setelah dibeli dan dibayar lunas, sang tuan menjadi pemilik hamba ini, dan berhak menyuruhnya melakukan pakerjaan apapun selama sisa hidupnya. Di jaman perjanjian lama, di timur tengah , banyaknya budak dihitung sebagai tanda kekayaan seseorang. Semakin terpandang dan semakin kaya maka budak nya pun semakin banyak. Ada yang mengurusi ladang, ternak bahkan urusan rumah tangga mulai dari makan serta minum.

Perbedaan status ini membawa konsekwensi sosial seperti apa yang terjadi di afrika dan amerika di jaman abad terdahulu dengan politik apartheid, membedakan perlakuan seseorang satu dengan yang lainnya karena warna kulit, suku dan lainnya. Sekali mereka menjadi budak seseorang maka keturunannya pun menjadi milik sang tuan. Sehingga hidup sang anakpun ada dalam kendali sang tuan pemilik budak. Manakala manusia menempatkan diri lebih tinggi status nya atas manusia lain maka ketimpangan sosial akan terjadi. Demikian halnya dalam kehidupan bernegara dimana masih terjadi perbedaan perlakuan warga negaranya berdasarkan Suku, Agama dan RAs dan juga termasuk perbedaan karena tingkat ekonomi, pendidikan dsb, kita bisa lihat banyak kesimpang siuran di berbagai bidang termasuk ekonomi, sosial, politik bahkan pendidikan dan kesehatan. Hal ini menimbulkan kecemburuan sosial yang bisa mengarah kepada rawannya keamanan dalam hidup bermasyarakat.

Tetapi bila manusia menempatkan dirinya satu sama lain sebagai sesama hamba yang hidup-matinya tergantung pada sang “tuan”, yang melakukan pekerjaan dengan taat seperti yang harus dilakukannya, maka mungkin ia akan berusaha hidup berdampingan dengan hamba lain dengan sikap saling tolong menolong. Seorang yang sadar bahwa hidupnya telah ditebus dari ikatan dosa tentu ia sebagai sesama hamba yang senasib sepenanggungan dengan yang lain akan berusaha agar tidak ‘ditegur’ tuannya.

Seandainya semua manusia merasakan hidup barunya benar-benar tergantung pada sang ‘tuan’, tentunya tidak ada lagi eksploitasi manusia atas manusia, juga eksploitasi kapital bahkan eksploitasi bumi untuk mengeruk keuntungan pribadi. Sikap demikian menandakan bahwa hamba ini tidak sadar akan statusnya yang tergantung dari perkataan sang tuan, begitu Ia bersabda maka habislah kehidupannya.

Marilah kita yang menyadari bahwa kehidupan lama kita telah ditebus dan dibebaskan dari ikatan dosa, mau  menjalankan setiap tugas dalam kehidupan ini sebaik mungkin seperti yang diharapkan “sang Tuan”.  Kadang kita kurang setia dan kualitas pekerjaan kita kurang sempurna, sehingga tidak menjadi kategori “hamba yang baik” yang membanggakan Tuannya. Tapi karena kemurahan hati “sang Tuan” kita yang tidak sempurna ini telah ditebusNya juga, sehingga sebagai hamba yang “tidak berguna” toh masih diberi kesempatan untuk melayaniNya, bahkan tinggal bersamaNya di rumah kediamanNya yang abadi. Lalu kalau sudah demikian, apa lagi yang kita cari selain mengucap syukur?

==============================================================

Bacaan:  Luk 17:7-10

“Siapa di antara kamu yang mempunyai seorang hamba yang membajak atau menggembalakan ternak baginya, akan berkata kepada hamba itu, setelah ia pulang dari ladang: Mari segera makan! Bukankah sebaliknya ia akan berkata kepada hamba itu: Sediakanlah makananku. Ikatlah pinggangmu dan layanilah aku sampai selesai aku makan dan minum. Dan sesudah itu engkau boleh makan dan minum. Adakah ia berterima kasih kepada hamba itu, karena hamba itu telah melakukan apa yang ditugaskan kepadanya? Demikian jugalah kamu. Apabila kamu telah melakukan segala sesuatu yang ditugaskan kepadamu, hendaklah kamu berkata: Kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna; kami hanya melakukan apa yang kami harus lakukan.”

One Comment

  1. bagus ibu, renungannya. thanks

Leave a Reply

Required fields are marked *.