Fiat Voluntas Tua

Merdeka ! atau Merdeka?

| 0 comments

Membaca artikel laporan diskusi Kompas mengenai ”Keindonesiaan dan kewarganegaraan” sungguh menarik untuk disimak dan dipahami, karena saudara-saudara yang bertempat tinggal di pulau-pulau kecil lebih banyak mengajukan kritik, gugatan, keluhan dan protes serta kejengkelan yang merasa dibedakan. Padahal sama-sama warga negara, sama-sama bayar pajak, sama-sama punya tanggung jawab, tetapi berbeda dalam menerima hak.

Memang hal-hal perbedaan ini selalu menjengkelkan dan menuai protes, apalagi perbedaan tersebut memang diciptakan dari sebuah niat tidak jujur demi kelanggengan sebuah jabatan, sehingga selalu saja etnis atau suku yang dikorbankan dan bahkan dengan parahnya dianggap bukan orang Indonesia.

Kewarganegaraan atau citizenship tidak berhubungan dengan ras/etnik, suku, budaya, bahasa dan agama, kewarganegaraan ditentukan oleh hukum kependudukan. Jadi sangat mungkin orang China, Belanda atau Jepang adalah warganegara Indonesia walaupun secara budaya tetaplah China, Belanda atau Jepang. Kewarganegaraan juga berbeda dengan nasionalisme, dan tidak mudah memahaminya, tetapi satu hal yang penting adalah nasionalisme bisa memudar, karena itu tergantung dengan perhatian, perlakuan dan tanggung jawab negara terhadap rakyatnya, bukan hanya dari satu sisi saja, yaitu rakyat yang harus memenuhi kewajibannya.

Saat ini Republik Indonesia telah berusia 63 tahun, tetapi rakyat selalu di bohongi dengan hal-hal artificial, demi pembangunan fisik, modernisasi infrastruktur dan teknologi. Tidak ada pembangunan manusia yang berarti, lupa jika makin banyak rakyat yang kelaparan, makin senang berhutang devisa dengan negara asing, produk-produk asing diberi keleluasaan menguasai pasar dalam negri, budaya asing lebih berkembang dan menjadi gaya hidup yang dinikmati, makin bangga menggunakan bahasa dan istilah asing, bahkan kita rela berkorban fisik atau nyawa dengan sesama demi membela investasi asing. Kita juga lebih merasa aman jika menyimpan uang kita dalam mata uang asing di negara asing, kalau sudah demikian apakah hari ini kita akan berkata ”merdeka!” atau ”merdeka?”

Kalau sudah demikian, bukan tidak mungkin 50 tahun lagi negara ini bubar, karena ikatan kita sebagai sebuah bangsa semakin kendur dan lebih bangga menjadi suku bangsa.

Motto ”Per Eclesia Pro Patria”, saya kutip dari ucapan Uskup Agung Julius Kadinal Darmoatmadja, yang lebih menyukai sesuatu yang konkrit dan nyata, maka pemahaman bahwa Melalui Gereja Untuk Negara dan lebih pas untuk situasi saat ini, sehingga rasa nasionalisme kita kembali bangkit serta mampu menterjemahkan 100% Katolik dan 100% Indonesia dengan benar dan bertanggung jawab. Dirgahayu Republik Indonesia, Merdeka! (Samsi Darmawan)

=================================================================
Bacaan di Hari Raya Kemerdekaan RI : Mat 22:15-21

22:15 Kemudian pergilah orang-orang Farisi; mereka berunding bagaimana mereka dapat menjerat Yesus dengan suatu pertanyaan.
22:16 Mereka menyuruh murid-murid mereka bersama-sama orang-orang Herodian bertanya kepada-Nya: “Guru, kami tahu, Engkau adalah seorang yang jujur dan dengan jujur mengajar jalan Allah dan Engkau tidak takut kepada siapa pun juga, sebab Engkau tidak mencari muka.
22:17 Katakanlah kepada kami pendapat-Mu: Apakah diperbolehkan membayar pajak kepada Kaisar atau tidak?”
22:18 Tetapi Yesus mengetahui kejahatan hati mereka itu lalu berkata: “Mengapa kamu mencobai Aku, hai orang-orang munafik?
22:19 Tunjukkanlah kepada-Ku mata uang untuk pajak itu.” Mereka membawa suatu dinar kepada-Nya.
22:20 Maka Ia bertanya kepada mereka: “Gambar dan tulisan siapakah ini?”
22:21 Jawab mereka: “Gambar dan tulisan Kaisar.” Lalu kata Yesus kepada mereka: “Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah.

Leave a Reply

Required fields are marked *.