Fiat Voluntas Tua

Mengagumi Keagungan Misa Kudus (Fr William P Sanders)

| 1 Comment

Seorang wanita yang saya kenal meninggalkan Gereja Katolik dan bergabung dengan suatu gereja lain. Salah satu alasannya adalah bahwa setiap kebaktian selalu berbeda, sementara dalam Perayaan Misa kita selalu melakukan hal-hal yang sama. Bagaimanakah cara terbaik menanggapinya? Mengapa Perayaan Misa dirayakan seperti sekarang ini? — seorang pembaca di Alexandria

Misa Kudus adalah bentuk ibadat yang paling agung kepada Allah yang Mahakuasa dan harta pusaka berharga Gereja Katolik kita. Guna sepenuhnya memahami Misa Kudus, orang perlu mengerti sejarah perkembangannya. Tentu saja, akar Perayaan Misa adalah Perjamuan Terakhir, suatu perjamuan Paskah. Dalam Perjamuan Terakhir Kristus dan para rasul membaca Kitab Suci, dan kemudian untuk pertama kalinya Ia mengambil roti dan anggur, mengucapkan doa konsekrasi, dan memberikan Tubuh-Nya dan Darah-Nya kepada mereka. Tindakan dalam Misa pertama ini haruslah dipahami dalam keseluruhan konteks sengsara, wafat, dan kebangkitan Kristus. Sejak saat itu, Gereja mempersembahkan Misa Kudus, yang ambil bagian dalam realita Perjamuan Terakhir yang abadi dan kekal, dan dalam sengsara, wafat dan kebangkitan Kristus.

Tentu saja, Perayaan Misa mengalami perkembangan seiring berjalannya waktu, namun demikian unsur-unsur pokok dan strukturnya tidak berubah. Tiga referensi terbaik dalam menceritakan Misa Kudus Gereja Perdana adalah Didaché (= Ajaran Keduabelas Rasul) (± thn 80), Apologiæ tulisan St. Yustinus Martir (± thn 155), dan Traditio Apostolica tulisan St. Hipolitus (± thn 215). Referensi-referensi ini menegaskan tradisi turun-temurun Perayaan Misa. Bentuk Misa seperti yang kita rayakan sekarang ini diajarkan oleh Paus Paulus VI pada tahun 1969.

Kerangka Perayaan Ekaristi terdiri dari empat bagian pokok: Ritus Pembuka, Liturgi Sabda, Liturgi Ekaristi, dan Ritus Penutup. Liturgi Sabda dan Liturgi Ekaristi “begitu erat berhubungan, sehingga merupakan satu tindakan ibadat” (Konstitusi tentang Liturgi Suci, no. 56). Lagipula, “Kitab-kitab ilahi seperti juga Tubuh Tuhan sendiri selalu dihormati oleh Gereja, yang – terutama dalam Liturgi Suci – tiada hentinya menyambut roti kehidupan dari meja sabda Allah maupun Tubuh Kristus, dan menyajikannya kepada umat beriman.” (Konstitusi Dogmatis tentang Wahyu Ilahi, no. 21). Secara keseluruhan, Perayaan Misa mengalir sebagai satu tindakan ibadat.

RITUS PEMBUKA mempunyai suatu tujuan definitif, yaitu “mempersatukan umat yang berhimpun dan mempersiapkan mereka, supaya dapat mendengarkan Sabda Allah dengan penuh perhatian dan merayakan Ekaristi dengan layak” (Pedoman Umum Misale Romawi, No. 46). Sejak masa awal Gereja, umat beriman berkumpul sebagai suatu persekutuan pada hari Tuhan (Didaché, no. 14). Sementara mereka berkumpul, seringkali mazmur-mazmur didaraskan sebagai persiapan merayakan Misa.

Guna memulai Misa dengan suatu tindakan yang definitif, sejak masa-masa awal, suatu Perarakan Masuk berkembang di mana imam bergerak masuk melewati komunitas untuk mendaraskan doa pertama. Pada akhirnya, imam masuk dengan diiringi paduan suara. Tradisi-tradisi lain pun dimasukkan juga, seperti pendupaan dan asperges. Ritual Pendupaan berasal dari Timur. Asap yang terberkati dimaksudkan untuk menggambarkan dan membangkitkan perasaan pemurnian dan pengudusan. Mazmur 51, Miserere, dimadahkan. Patut diingat bahwa pada masa Perjanjian Lama, dupa dipergunakan untuk mengusir setan sekaligus untuk menguduskan kurban persembahan bagi Tuhan.

Asperges, atau pemercikan dengan air suci, serupa dengan penggunaan dupa. Juga, asperges membangkitkan dalam benak umat beriman ingatan akan pembaptisan mereka dan dengan demikian diingatkan akan kelahiran mereka kembali dalam Kristus. Lagi, Miserere biasanya didaraskan. Baik melalui pendupaan ataupun asperges, umat beriman diajak untuk menyesali dosa-dosa mereka, imam berdoa mohon pengampunan dosa bagi dirinya sendiri dan bagi seluruh komunitas.

Tata cara sapaan resmi di awal Misa dicatat dalam Kota Tuhan yang ditulis oleh St. Agustinus. Sejak masa awal Gereja, Misa dimulai dengan Tanda Salib. Tertulianus (wafat ± thn 250) menggambarkan kebiasaan membuat tanda salib: “Dalam segala kegiatan dan gerakan, setiap kali kami datang maupun pergi, saat mengenakan sepatu, saat mandi, saat makan, saat menyalakan lilin, saat berbaring, saat duduk, dalam segala apapun yang kami lakukan, kami menandai dahi kami dengan Tanda Salib” (De corona, 30).

Ritus Tobat ditulis oleh Didaché sebagai berikut: “Pada Hari Tuhan, berkumpullah bersama, memecah-mecahkan roti dan mengucap syukur, setelah mengakukan dosa-dosamu agar kurban persembahanmu kudus” (no. 14). Ritus ini meliputi pemeriksaan batin dan pengakuan dosa secara umum sebelum masuk dalam Perayaan Ekaristi. Namun demikian, ritus tobat ini jangan disamaartikan dengan Sakramen Tobat, yang tetap amat diperlukan bagi pengampunan dosa berat.

Dalam susunan Misa yang sekarang, setelah salam, imam memimpin salah satu: Asperges atau Ritus Tobat – Confiteor dilanjutkan dengan Kyrie, suatu ritus tobat singkat, atau Kyrie dengan seruan-seruan.

Confiteor (“Saya mengaku…) berasal dari sekitar abad kedelapan, tetapi confiteor yang kita serukan sekarang pada dasarnya berasal dari Misa yang diajarkan oleh Paus St. Pius V (thn 1570).

Pendarasan Kyrie menyebar ke segenap Gereja sekitar abad keenam dan selalu didahului dengan doa imam. Madah “Tuhan kasihanilah kami, Kristus kasihanilah kami” berasal dari awal abad keempat dalam liturgi Antiokhia – Yerusalem. Kyrie dipergunakan untuk mengakhiri berbagai seruan. Di Timur, didaraskan sebanyak 42 seruan. Hingga abad kedelapan, litani akan terus didaraskan hingga paus (atau imam) memberi tanda untuk berhenti. Pada abad kesembilan, ditetapkan sembilan seruan, dan sekarang, tiga seruan. Sekarang, dalam Perayaan Misa, Kyrie dimadahkan setelah Confiteor, atau tiga seruan didaraskan dengan diakhiri “Tuhan kasihanilah kami” atau “Kristus kasihanilah kami.”

Gloria adalah Madah Kemuliaan. Ayat pembuka diambil dari warta para malaikat kepada para gembala saat kelahiran Kristus (Luk 2:14). Versi Yunani muncul sekitar tahun 380 dalam Konstitusi Apostolik dan Codex Alexandrinus Perjanjian Baru (abad kelima), dalam keduanya didapati Gloria hampir tepat sama perkataannya dengan yang dipergunakan sekarang. Sekitar abad keenam, Gloria dilambungkan pada hari Minggu dan hari-hari pesta. Gloria dihilangkan selama Masa Adven dan Masa Prapaskah guna menekankan suasana persiapan dan tobat.

Gloria adalah pemakluman kemuliaan Allah. Bersekutu dalam Misa Kudus, umat beriman memadahkan kemuliaan bagi Tuhan. Madah Kemuliaan terdiri dari dua bagian utama: Dalam bagian pertama, kita memuji dan mengucap syukur kepada Bapa Surgawi yang telah mengungkapkan, lewat penciptaan dan sepanjang sejarah keselamatan, kemuliaan-Nya kepada umat-Nya. Dalam bagian kedua, madah berfokus pada Yesus, bukan hanya sebagai Anak Domba kurban, melainkan juga sebagai Kristus yang menang jaya. Madah Kemuliaan berakhir dengan aklamasi Tritunggal Mahakudus.

Doa Pembuka atau Collecta (bahasa Latin, suatu doa yang merangkum doa-doa jemaat) mengakhiri Ritus Pembuka. Collecta ditujukan kepada Tuhan, Allah Bapa, dan apa yang sedang kita rayakan pada hari itu (misalnya pesta tertentu) atau menekankan semangat masa liturgi. Collecta dilambungkan kepada Bapa “dengan pengantaraan Yesus Kristus,” satu-satunya pengantara (“…Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.” – Yoh 14:6), dalam persatuan dengan Roh Kudus, Parakletos dan Penghibur, yang adalah persekutuan antara Bapa dan Putra, dan juga juga daya pemersatu antara Gereja dan Tuhan. Dalam doa pembuka, kita berdoa mohon pertolongan ilahi dari Tuhan sementara kita memulai Perayaan Misa.

Setelah Ritus Pembuka, Misa masuk ke dalam LITURGI SABDA. Pada masa Gereja Perdana, pemilihan dan jumlah bacaan dari Kitab Suci bervariasi untuk setiap liturgi. Di Barat, berkembang pola di mana satu bacaan dari salah satu epistula akan mendahului bacaan Injil, karena Paskah merupakan peristiwa Perjanjian Baru. Kitab para nabi dari Perjanjian Lama juga diberi prioritas. Aklamasi “Syukur kepada Allah” (Deo gratias) dipergunakan sejak abad keempat. Lebih lanjut, Gereja menetapkan bahwa hanya kitab-kitab para Nabi atau para Rasul (yaitu kitab-kitab dari Kitab Suci kita sekarang) dibacakan kepada umat beriman dalam Perayaan Misa (bdk. The Muratorian Fragment, c. 155).

Graduale atau Mazmur Tanggapan disisipkan di antara bacaan-bacaan. Di kemudian hari, seorang pemazmur maju dengan buku madah mazmur (Cantatorium). Umat akan menyanyikan bagian ulangan dari madah mazmur. Pemazmur bernyanyi sambil berdiri pada anak tangga ambo dari mana bacaan-bacaan diwartakan. Anak tangga mimbar ini disebut “gradus” (Latin).

Alleluia atau Bait Pengantar Injil dinyanyikan sebelum Injil dibacakan. Tradisi ini juga berasal dari Misa awali. Alleluia merupakan warta Paskah.

Injil senantiasa mendapat tempat terhormat. Selalu seorang dari kaum klerus yang membacakan Injil. Dalam liturgi Romawi, imam atau diakon akan mengambil Kitab Injil (Evangeliarium) dari altar dan membawanya ke ambo dalam suatu perarakan kecil dengan para akolit membawa lilin dan pedupaan. St. Hieronimus menceritakan bahwa perarakan serupa dilakukan ketika seorang yang terhormat memasuki ruangan dalam pengadilan kuno. Sekitar abad keempat, aklamasi “Dimuliakanlah Tuhan” (Gloria tibi, Domini) diserukan di awal pembacaan Injil, dan aklamasi “Terpujilah Kristus” (Laus tibi, Christe), diserukan di akhir pembacaan Injil, guna mengekspresikan keyakinan akan kehadiran Kristus dalam Injil yang diwartakan. Untuk alasan yang sama, umat beriman berdiri saat Injil dibacakan, sementara mereka duduk saat bacaan-bacaan lain dibacakan. Pada abad kesembilan, di awal pembacaan Injil, umat beriman membuat tanda salib di dahi, bibir dan hati, menandakan akal budi yang terbuka untuk menerima Sabda Kristus, yang diakui dengan bibir, dan dicamkan dalam hati.

Dalam Vatikan II, para Bapa Konsili, dalam memberikan pedoman bagi pembaharuan Misa, memaklumkan, “Agar santapan Sabda Allah dihidangkan secara lebih melimpah kepada umat beriman, hendaklah khazanah harta Alkitab dibuka lebih lebar, sehingga dalam kurun waktu beberapa tahun bagian-bagian penting Kitab Suci dibacakan kepada umat” (Konstitusi tentang Liturgi Suci no. 51).

Sebab itu, dirancang suatu lingkaran tiga tahun untuk bacaan-bacaan hari Minggu dan lingkaran dua tahun untuk Misa harian. Setiap Misa Hari Minggu terdiri dari Bacaan Pertama yang diambil dari Perjanjian Lama (atau dari Kisah Para Rasul atau dari Kitab Wahyu, tergantung dari masa liturgi atau pesta yang dirayakan), Mazmur Tanggapan, Bacaan Kedua yang diambil dari salah satu epistula Perjanjian Baru, dan akhirnya Bacaan Injil. Lingkaran tiga tahun untuk Misa Hari Minggu terdiri dari: Tahun A, St. Matius; Tahun B, St. Markus; dan Tahun C, St. Lukas. Bacaan-bacaan dari Injil St. Yohanes disisipkan sepanjang tahun, teristimewa selama Masa Paskah dan dalam Tahun B. Untuk Misa Harian dipergunakan lingkaran dua tahun yang terdiri dari Tahun Ganjil (I) dan Tahun Genap (II). Dalam Misa Harian hanya disediakan dua bacaan: Bacaan Pertama dan Injil. Injil yang dibacakan mengikuti lingkaran tiga tahun, namun bacaan pertamanya berbeda.*

Setelah Bacaan Injil, imam biasanya menyampaikan homili yang berfungsi sebagai pengajaran. Tujuan homili adalah untuk membantu umat beriman memahami bacaan Kitab Suci dan menjadikan Sabda Allah relevan dengan kehidupan sekarang. Lagipula, homili harus mampu menghubungkan Sabda Tuhan dengan Ekaristi Kudus. Konstitusi tentang Liturgi Suci mengajarkan, “Homili sebagai bagian liturgi sendiri sangat dianjurkan. Di situ hendaknya sepanjang tahun liturgi diuraikan misteri-misteri iman dan kaidah-kaidah hidup kristiani berdasarkan teks Kitab Suci”  (no. 52).

Syahadat atau Pernyataan Iman merupakan tanggapan atas pewartaan Sabda Tuhan dan homili. Syahadat yang didaraskan dalam Perayaan Misa sekarang ditetapkan dalam Konsili Nicea pada tahun 325 dengan bagian terakhir ditambahkan pada Konsili Konstantinopel tahun 381; dikenal sebagai Syahadat Nicea-Konstantinopel. Sebenarnya, pada masa Gereja Perdana, pembaptisan  seringkali dilaksanakan dalam konteks Misa, sesudah Injil; sekarang, pernyataan iman didaraskan dengan maksud [1] agar umat beriman dapat mengiyakan atau mengamini dan menanggapi Sabda Allah yang baru saja didengarkan dalam bacaan-bacaan dan homili, dan [2] agar umat beriman dapat mengingat kembali pokok-pokok iman kepercayaannya sebelum mulai merayakan Liturgi Ekaristi.* Meskipun Syahadat secara resmi dimasukkan ke dalam Misa sekitar tahun 500-an, pada umumnya Syahadat telah didaraskan sebelum masa itu. Syahadat versi singkat, yang dikenal sebagai “Syahadat Para Rasul”, dapat didaraskan dalam Misa untuk menggantikan Syahadat Nicea-Konstantinopel yang lebih panjang.

Doa Umat, Doa Permohonan atau Doa Umat Beriman juga senantiasa didaraskan sejak masa awal Gereja. St. Paulus dalam Surat Pertamanya kepada St. Timotius mengatakan, “aku menasihatkan: Naikkanlah permohonan, doa syafaat dan ucapan syukur untuk semua orang, untuk raja-raja dan untuk semua pembesar” (2Tim:1-2). Doa Umat mengikuti struktur tiga bagian: ajakan untuk berdoa, ujud-ujud dan doa penutup oleh imam. St. Yustinus mengatakan bahwa permohonan-permohonan haruslah mengingat kepentingan Gereja; ujud-ujud bapa uskup dan klerus; perdamaian dunia; panen yang baik; negara dan bangsa; mereka yang sakit, miskin dan berkekurangan; mereka yang telah meninggal dunia; pengampunan dosa; dan mohon kematian bahagia. Di kemudian hari, doa umat ditiadakan dari kerangka Perayaan Misa; tetapi Konsili Vatikan II menginstruksikan agar Doa Umat dimasukkan kembali ke dalam Misa (Konstitusi tentang Liturgi Suci no. 53). Sekarang, pada umumnya urutan ujud-ujud dalam Doa Umat adalah sebagai berikut: [a] untuk kepentingan Gereja; [b] untuk para penguasa negara dan kesejahteraan seluruh dunia; [c] untuk orang-orang yang sedang menderita kesengsaraan; [d] untuk umat setempat.*

Setelah Doa Umat, Perayaan Misa masuk ke dalam LITURGI EKARISTI. Perayaan Liturgi Ekaristi berfokus di altar, seperti Liturgi Sabda berfokus di ambo. Sesuai dengan kebiasaan awali, pada bagian ini para katekumen dihantar keluar dari perayaan Gereja; hanya mereka yang telah dibaptis dapat ikut ambil bagian dalam Liturgi Ekaristi.

Liturgi Ekaristi diawali dengan Persiapan Persembahan: roti, anggur dan air, dihantar kepada imam. St. Yustinus mencatat, “Ia mengambilnya, melambungkan pujian dan syukur kepada Bapa semesta alam atas nama Putera dan Roh Kudus dan menyampaikan ucapan terima kasih, karena kami dianggap layak menerima anugerah-anugerah ini dari-Nya” (Apologiæ, No. 65).

Umat beriman juga membawa persembahan-persembahan lain – uang, makanan, obat-obatan, pakaian – yang akan dipersembahkan kepada Tuhan dan dipergunakan oleh Gereja. Setelah Misa, persembahan-persembahan lain ini akan dibagi-bagikan kepada mereka yang membutuhkannya. Lagi, St. Yustinus mencatat, “Siapa yang mempunyai milik dan kehendak baik, memberi sesuai dengan kemampuannya, apa yang ia kehendaki, dan apa yang dikumpulkan, diserahkan kepada pemimpin. Dengan itu ia membantu yatim piatu dan janda, atau mereka yang karena sakit atau karena salah satu alasan, membutuhkannya, para narapidana dan orang asing yang ada dalam jemaat; singkatnya ia adalah pemelihara untuk semua orang yang berada dalam kesusahan” (Apologiæ, No. 67). Pada abad ke-11, persembahan semacam ini pada umumnya disampaikan dalam bentuk uang kolekte.

Pada tahun 300-an, berkembang suatu perarakan persembahan yang resmi. Umat beriman membawa ke altar roti dan anggur yang akan dipersembahkan, terkadang mereka didampingi oleh putera altar yang membawa pedupaan, lilin dan salib perarakan. Perarakan resmi ini menggambarkan Kristus yang menuju kurban persembahan-Nya Sendiri.

Rumusan Doa Persiapan Persembahan untuk roti dan anggur didapati dalam Didaché, tetapi sesungguhnya berasal dari berkat bangsa Yahudi. Rumusan yang baru, “Terpujilah Engkau, ya Tuhan, …” mengandung tiga gagasan: Roti dan anggur adalah hasil dari ciptaan yang menjadi santapan kita, dan karenanya melambangkan bumi kita dan hidup kita sendiri. Roti dan anggur juga melambangkan hasil usaha dan karya manusia, dan karenanya merupakan persembahan diri kita. Akhirnya, roti dan anggur adalah bahan-bahan samaran karena nantinya mereka akan diubah dalam misteri Ekaristi.

Doa-doa saat pencampuran air dan anggur didapati dalam Buku Misa (sacramentarium) Romawi abad ke-11, “Dengan misteri air dan anggur ini, semoga kita beroleh bagian dalam keilahian Kristus yang merendahkan Diri dengan ambil bagian dalam kemanusiaan kita.” St. Siprianus (± 250) menekankan bahwa tindakan ini melambangkan Yesus ilahi yang menjadi manusia dan mengenakan juga kodrat manusiawi.

Setelah Doa Persiapan Persembahan, imam melakukan “lavabo” atau mencuci tangan. Imam mengatakan, “Ya Tuhan, bersihkanlah aku dari kesalahanku dan cucilah aku dari dosaku.” Berasal dari abad keempat, “lavabo” kadang-kadang dilakukan pada awal Liturgi Ekaristi. Pencucian tangan ini melambangkan kemurnian batin dengan mana imam hendak masuk ke dalam misteri kudus.

Di masa-masa awal Gereja, imam mendaraskan semua doa-doa persiapan persembahan dalam hati, sebab hanya dia yang akan masuk ke dalam Yang Mahakudus dari Yang Kudus di hadapan Tuhan. Doa Persiapan Persembahan kemudian dilanjutkan dengan “Orate, fratres et sorores…” (“Berdoalah Saudara-saudari…”) mengundang kongregasi untuk sekarang berpartisipasi. Praktek ini muncul sekitar abad kedelapan.

Anafora atau Doa Syukur Agung adalah jantung Liturgi Ekaristi. Doa Syukur Agung terdiri dari beberapa bagian:

Prefasi juga berasal dari masa-masa awal Gereja. Dialog Pembukaan / Dialog Ajakan (misalnya, Imam: “Tuhan sertamu,” Umat: “Dan sertamu juga.” Imam: “Arahkanlah hatimu kepada Tuhan,” dst) hampir tepat sama kata-katanya dengan yang didapati dalam Traditio Apostolica St. Hipolitus. Sekarang, prefasi-prefasi yang berbeda dipergunakan, tergantung pada perayaan atau masa liturgi. Prefasi merupakan “perkataan sebelum” bagian utama Doa Syukur Agung, dalam memuliakan dan mengucap syukur kepada Allah – “Bapa melalui Kristus dalam Roh Kudus untuk segala karya-Nya, untuk penciptaan, penebusan dan pengudusan” (Katekismus Gereja Katolik, no. 1352). Di sini, Gereja di dunia dipersatukan dengan Gereja di Surga, dengan segenap malaikat dan orang kudus, untuk bersatu dalam satu madah pujian.

“Sanctus” atau Aklamasi Kudus mengakhiri Prefasi. Sanctus juga muncul dalam bentuk-bentuk Misa awali, kemungkinan sejak jaman para rasul. Dalam beberapa dokumen dari abad keempat dan kelima terdapat catatan tentang Sanctus, tetapi yang mengejutkan, Sanctus hilang dari Doa Syukur Agung St. Hipolitus. Madah ini diilhami oleh ayat mengenai penglihatan Yesaya (Yes 6:2-3), yang dimasukkan dalam ibadat di Sinagoga pada abad kedua sesudah Kristus.

Benedictus Sanctus (“Terberkatilah yang datang…”) adalah aklamasi dengan mana orang banyak menyambut Yesus pada hari Minggu Palma (Mat 21:9). Juga merefleksikan pujian Wahyu “bagi Dia dan bagi Anak Domba” (Why 5:13).  Benedictus kemungkinan ditambahkan ke dalam Sanctus sekitar abad kelima. Menariknya, kongregasi selalu menyanyikan Sanctus.

Canon atau Doa Syukur (bagian terpenting dari Doa Syukur Agung) terdiri dari beberapa elemen penting: Pertama, permohonan kepada Tuhan agar menerima serta memberkati persembahan, Gereja mohon pada Bapa agar mengutus Roh Kudus. Doa mohon turunnya Roh Kudus ini disebut “epiklesis” (Imam, yang biasanya memanjatkan doa dengan kedua tangan terentang dan terbuka, menangkupkan kedua tangannya dan menempatkannya di atas roti dan anggur yang dipersembahkan dan memberkatinya.) Imam berdoa agar melalui kuasa Roh Kudus roti dan anggur diubah menjadi Tubuh dan Darah Tuhan kita, Yesus Kristus.

Kedua, Doa Konsekrasi atau Kisah Institusi, adalah kata-kata Kristus yang dimaklumkan-Nya pada Perjamuan Terakhir, seperti dicatat dalam Injil Matius, Markus maupun Lukas. Doa Konsekrasi ini penuh kuasa. Dengan kuasa Roh Kudus dan melalui Kristus yang bertindak melalui imam-Nya yang ditahbiskan sah, doa konsekrasi mengubah substansi roti dan anggur dan secara sakramental menghadirkan Tubuh dan Darah Kristus. Pada awal doa konsekrasi, transsubstansiasi terjadi. Lonceng altar atau gong biasanya dibunyikan saat konsekrasi guna menegaskan terjadinya peristiwa mukjizat ini. Sebagai tanggapan atas mukjizat yang baru saja terjadi di altar, imam menyerukan agar umat beriman mewartakan misteri iman.

Ketiga, Aklamasi Anamnesis yang adalah kenangan. Keseluruhan Misa dalam arti tertentu merupakan suatu anamnesis, suatu kenangan akan sengsara, wafat dan kebangkitan Kristus. Umat beriman juga mengingat bahwa Kristus akan datang kembali dalam kemuliaan. Secara istimewa imam mengingatkan kembali mandat Kristus untuk mengenang-Nya, apa yang dilakukan-Nya, dan kedatangan-Nya kembali dalam kemuliaan.

Keempat, Doa Kurban atau Persembahan, yaitu ketika Gereja mempersembahkan kepada Bapa persembahan Kristus yang mendamaikan kita dengan-Nya. Imam berdoa kepada Tuhan agar menerima kurban ke altar surgawi-Nya, agar mereka yang menerima Tubuh dan Darah Kristus kiranya “dipenuhi dengan rahmat dan berkat” (Doa Syukur Agung I).

Akhirnya, sejak awal abad keempat, Doa Syukur Agung menyertakan Doa Permohonan. Kita mohon bantuan doa para kudus, teristimewa Santa Perawan Maria, St. Yosef, para rasul dan martir. Sebagai tanda persatuan seluruh Gereja, Paus dan Uskup setempat didoakan. Seluruh anggota Gereja, baik yang hidup maupun yang sudah meninggal, juga dibawa dalam doa.

Di dalam Missale Romanum, secara resmi hanya ada empat Doa Syukur Agung: Doa Syukur Agung I (Canon Roma) dalam bentuknya yang seperti sekarang berasal dari Misa Paus Pius V (1570). Dalam revisi Misa pada tahun 1969, tiga Doa Syukur Agung baru disetujui dengan keistimewaan masing-masing sebagai berikut:

Doa Syukur Agung II pada dasarnya adalah yang ditulis oleh St. Hipolitus dari Roma sekitar tahun 215. Dengan Prefasinya tersendiri yang khusus, DSA ini memiliki kejelasan yang sederhana dalam doa syukurnya dan ringkas. DSA II tidak diperuntukkan bagi perayaan Misa hari Minggu, melainkan untuk Misa harian.

Doa Syukur Agung III merefleksikan tradisi Roma. Mengikuti pola tradisional Canon Roma, DSA ini mempergunakan Prefasi yang bervariasi dengan canon yang tetap. Canon panjangnya sedang dan berfokus pada karya penebusan Tuhan dan menghimpun umat ke dalam Gereja.

Doa Syukur Agung IV mengikuti anafora Siria Barat. Dengan Prefasinya tersendiri, DSA menggambarkan sejarah keselamatan dalam pengantar sesudah Sanctus, dengan menggunakan banyak sekali ungkapan dan gambaran Biblis.

(Patut dicatat bahwa ada juga Doa Syukur Agung dengan tema khusus, misalnya untuk Tobat [DSA V & VI] dan untuk Misa Anak-anak [DSA VIII, IX, X]).

Doa Syukur Agung berakhir dengan Doksologi, “Dengan pengantaraan Kristus…,” yang didaraskan atau dinyanyikan saat Tubuh dan Darah Kudus diangkat tinggi-tinggi. Praktek ini telah dilakukan sejak abad ketiga.

Kemungkinan, Paus Gregorius Agung (wafat 604) menambahkan Doa Bapa Kami agar didaraskan setelah Doa Syukur Agung. Doa Bapa Kami, seperti ditemukan dalam Injil St. Matius (6:9-13) dan St. Lukas (11:2-4), adalah satu-satunya doa yang diajarkan Kristus kepada kita. Kesempurnaan Doa Bapa Kami dipandang sebagai persiapan yang baik untuk menerima Komuni Kudus. Embolisme, “Sebab Engkaulah raja – yang mulia dan berkuasa …, ” ditemukan dalam Didaché, tetapi bukan bagian dari teks Injil yang asli (baru disisipkan ke dalam Injil Matius sekitar abad pertama atau kedua Masehi).

Ritus Damai. Tertulianus (± 220) menceritakan Salam atau Cium Damai dalam Perayaan Misa. Pada awalnya, Salam Damai dilakukan setelah Liturgi Sabda guna menggambarkan persaudaraan dan persekutuan dalam komunitas sebelum mempersembahkan kurban (bdk. Mat 5:23-24). Tetapi, Paus Inosensius I pada tahun 416 menetapkan urutannya seperti yang sekarang. Salam Damai pada akhirnya tidak diperkenankan bagi imam selebran dan para pelayan altar, tetapi diperkenankan kembali dalam Misa oleh Paus Paulus VI.

Gambaran Anak Domba Allah melambangkan sengsara sekaligus kemenangan Kristus, sebab Dialah anak domba paskah yang baru, seperti dimaklumkan oleh St. Yohanes Pembaptis dalam Yoh 1:29 dan dalam Kitab Wahyu. Pada abad ketujuh, madah Agnus Dei, dinyanyikan saat pemecahan roti yang telah dikonsekrir.

Pada bagian ini, imam, berdoa dalam hati, memecahkan sepotong kecil Hosti Kudus (fermentum) dan memasukkannya ke dalam piala anggur. Tindakan pencampuran (commixtio) ini mengandung makna persatuan Tubuh dan Darah Kristus, dan persatuan kurban meskipun terjadi dalam dua konsekrasi yang terpisah.

Dalam Komuni Kudus, umat beriman menyantap Ekaristi Kudus, mempersatukan diri dalam persekutuan dengan Tuhan, satu dengan yang lainnya dalam kongregasi, dan dengan Gereja universal. St. Yustinus menegaskan, “Karena roti dan anggur ini – sesuai dengan satu ungkapan lama – di`ekaristi’kan, kita menamakan makanan ini ekaristi. Seorang pun tidak boleh mengambil bagian dalamnya, kecuali orang yang mengakui ajaran kita sebagai yang benar, telah menerima Pembaptisan untuk pengampunan dosa dan kelahiran kembali dan hidup sesuai dengan petunjuk Kristus” (Apoligiæ No. 66).

Setelah membagi Komuni Kudus dan membersihkan piala, imam mendaraskan Doa Sesudah Komuni. Misa diakhiri dengan RITUS PENUTUP – berkat dan pengutusan, penghormatan altar dan perarakan keluar.

Pada intinya, Gereja kita memiliki harta pusaka yang agung dan berharga dalam Misa. Janganlah seorang pun dari kita menghadiri Misa sebagai suatu kewajiban belaka atau menjadi suam-suam kuku terhadapnya. Di samping itu, para imam sepantasnyalah mempersembahkan Misa dengan penuh khidmat dan sukacita. Konsili Vatikan II secara khusus mengingatkan kaum awam akan peran mereka, “Maka dari itu Gereja dengan susah payah berusaha, jangan sampai umat beriman menghadiri misteri iman itu sebagai orang luar atau penonton yang bisu, melainkan supaya melalui upacara dan doa-doa memahami misteri itu dengan baik, dan ikut serta penuh khidmat dan secara aktif. Hendaknya mereka rela diajar oleh Sabda Allah, disegarkan oleh santapan Tubuh Tuhan, bersyukur kepada Allah. Hendaknya sambil mempersembahkan Hosti yang tak bernoda bukan saja melalui tangan imam melainkan juga bersama dengannya, mereka belajar mempersembahkan diri, dari hari ke hari – berkat perantaraan Kristus – makin penuh dipersatukan dengan Allah dan antar mereka sendiri, sehingga akhirnya Allah menjadi segalanya dalam semua” (Konstitusi tentang Liturgi Suci, no. 48).

* Fr. Saunders is dean of the Notre Dame Graduate School of Christendom College in Alexandria and pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls.
sumber : “Straight Answers: Exploring the Beauty of the Mass” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2001 Arlington Catholic Herald.  All rights reserved; www.catholicherald.com
* tambahan : M. Tiga: Mengalami, Merawat, Menarikan Liturgi “Perayaan Ekaristi: Apa ini? Apa itu?”; diterbitkan oleh ILSKI (Institut Liturgi Sang Kristus Indonesia, Bandung)


One Comment

  1. wah… kecintaan dan pengetahuan tentang misa seharusnya diketahui khalayak umat Katolik.. apalagi kaum mudanya…. kekayaan gereja seharusnya diceritain ke anak2 muda kita.. ada di pelajaran agama di sekolah2.. karena banyak banget yang tidak tahu kemudian menjadi tidak mau tahu… dengan bertolak bosan dan kolot…budaya dan kekayaan yang penuh makna iman diacuhkan…babtis dari bayi tp ga ngerti kenapa ada lampu merah yang selalu nyala di deket tabernakel…. :P
    semoga masih banyak generasi muda yang bisa terselamatkan… :)

Leave a Reply

Required fields are marked *.