Fiat Voluntas Tua

Pastoral Orang Muda: Kita sama-sama biasa kerja tapi tidak biasa kerja-sama

| 2 Comments

Membaca hasil TePas KAJ 2008 kita dihadapkan pada dua ekstrim Orang Muda; satu sisi kelompok orang muda yang membumi dengan isu lokal tapi jarang ada disekitar altar bahkan ada beberapa orang yang tidak mengenal pastor parokinya. Sisi lain ada kelompok orang muda yang menjaga hidup doanya dan mengandalkan Kitab Suci, tapi hidup diawang-awang jauh dari isu lokal yang ada di masyarakat. Padahal diluar itu masih ada lagi kelompok orang muda yang tidak berada di dua-duanya, tidak terlihat di gereja tidak juga ada di akar rumput, dimanakah mereka?

Pada minggu yang sama dengan TePas KAJ di Manado diselenggarakan pertemuan Komisi Kateketik se Indonesia di Manado bertema “KATEKESE DALAM MASYARAKAT YANG TERTEKAN”. Telah disepakati untuk menargetkan perubahan dalam diri umat beriman, sesuai dengan kelompok umur dalam bidang kemanusiaan, hukum maupun politik. Bagaimana menjembatani kepentingan antara keduanya agar efektif baik dari sisi pastoral dan juga dari sisi katekese?

Awalnya setiap komisi atau seksi yang ada dalam Keuskupan dan paroki dibentuk karena memiliki berbagai tujuan. Tetapi akhirnya kita harus kembali lagi pada komunitas basis sebelum menentukan tujuan dan program dari tiap komisi/seksi, sejauh manakah kita mengenal komunitas yang dilayani? Efektivitas organisasi didunia bisnis tergantung berapa baiknya mereka mengenal profil pelanggan dan kebutuhannya. Customer Segmentation yang dipersiapkan dengan baik akan membantu menentukan strategi pelayanan bagi pelanggan. Demikian juga kalau kita ingin memiliki paroki yang menarik bagi setiap orang, baik mereka yang diluar dan didalam Gereja. Sehingga setiap strategi disepakati sebagai suatu gerak langkah pastoral bersama. Rasanya sudah bukan jamannya lagi kita berkarya dengan sistem ‘silo’ dimana masing2 seksi berkarya demi ‘kerajaannya’.

Mengacu pada kejadian saat Yesus berusia 12 tahun di Bait Allah, ia kembali bergabung bersama orang tuanya; dan ia semakin besar semakin dicintai Allah dan manusia. Sehingga cara yang paling tepat adalah menggolongkan umat dalam satu paroki dalam berbagai kelompok usia yang sejalan dengan pendampingan sakramen dan mistagogi yang dibutuhkan, mulai dari Sakramen Baptis sampai Perminyakan yaitu sbb:

1) Kelompok I dengan usia anak sampai dengan komuni pertama : 0-9 tahun – kita anggap mulai dengan baptisan bayi. Kalaupun belum maka diharapkan saat menerimakan Komuni Pertama bisa sekaligus bersamaan dengan Sakramen baptis dan sakramen Pengakuan dosa. Kelompok ini bisa dipisahkan dalam usia bermain < 5 tahun dan usia SD.

2) Kelompok kedua adalah 9-14 tahun yaitu masa dimana anak-anak sudah menerima komuni pertama dan dipersiapkan menerima sakramen penguatan. Diharapkan minat anak-anak untuk terlibat dalam kegiatan seputar altar timbul diusia ini terutama para putra-putri altar. Kelompok ini bisa dibagi dari usia SD dan SMP.

3) Kelompok ketiga adalah membagi rentang usia yang sangat besar, karena sakramen berikutnya adalah sakramen imamat ataupun sakramen pernikahan: 14-35 tahun. Mengingat kompleksitas yang berbeda maka sebaiknya dibagi lagi berdasarkan pendidikannya :

a) kelompok usia remaja 14-18 thn,setelah mendapatkan sakramen penguatan.Ini pun bisa dibagi antara yang SMP dan SMU. Ada yang menjadi Putra altar dan ada yang belum tertarik.

b) kelompok usia mahasiswa (sekaligus masuknya para mahasiswa dari berbagai daerah) 18-24 thn. Di kelompok ini masuk juga orang muda yang putus sekolah, terpaksa bekerja atau justru masih menganggur dengan ijazah SMA. Mau menikah pun belum berani karena tidak punya penghasilan.

c) kelompok usia bekerja single 24-35 thn, biasanya sudah lulus pendidikan D3 atau S1. Kelompok ini juga termasuk para kaum urban yang karena pekerjaan terpaksa berpisah dari orang tua dan tinggal nomaden. Didalam kelompok ini banyak yang jarang tercatat dalam Kartu Keluarga karena sifat tempat tinggal yang sementara – sama seperti mahasiswa kost2an. Kelompok ini kadang disebut usia panik karena sulitnya mendapatkan pasangan seiman ditengah kesibukan membina karir.

d) Pendampingan khusus diberikan pada mereka yang akan menghadapi sakramen pernikahan melalui KPP Kursus Persiapan Perkawinan.

4) Usia pernikahanpun masih diperlukan bimbingan pastoral – terutama dengan bertambahnya anak dalam keluarga sebagai Gereja terkecil. Apalagi dengan tingkat perceraian 200.000 kasus per tahun di Indonesia, tidak lah cukup mengandalkan Kursus Persiapan Perkawinan yang hanya 3 hari. Dengan demikian bisa dibagi lagi sbb:

a) usia pernikahan < 5 tahun yaitu masa pemantapan antara dua pribadi dan bertambahnya anggota keluarga baru.

b) usia pernikahan 5-10 tahun masa pematangan, dimana salah satu pasangan menghadapi puber kedua atau menghadapi masalah seputar keluarga: anak dan keuangan keluarga.

c) usia pernkahan 10 -20 tahun menghadapi masa tua, dimana para orang tua memiliki masalah komunikasi baik dengan pasangan maupun antar anggota keluarga yang lainnya khususnya dengan anak remaja.

d ) usia pernikahan > 20 tahun dimana salah satu pasangan mulai memasuki masa lansia dan mempersiapkan diri menerima sakramen perminyakan. Bisa juga menghadapi kepanikan karena anak-anak belum mendapatkan pasangan yang sesuai.

Idealnya semua golongan umur terlibat dalam melakukan revitalisasi paroki. Generasi yang berhasil adalah generasi yang menghormati generasi di atasnya, melayani generasinya dan mempersiapkan generasi dibawahnya. Maka segala usia perlu terlibat dalam dinamika pastoral paroki. Oleh karenanya penting sekali memiliki database umat yang bisa dibedakan kebutuhannya termasuk juga profesinya. Nantinya masing-masing paroki bisa memfokuskan pada kelompok usia mana yang akan dijadikan prioritas berdasarkan sumber daya dan dana yang ada. Paroki yang berada di tengah kota tentu berbeda fokus perhatiannya dengan paroki pinggiran kota mengingat dinamika umat dan demografinya.

Membicarakan pastoral kaum muda saja kita perlu melibatkan kelompok pasutri yang usia pernikahannya diatas 10 tahun karena mereka juga menghadapi anak-anaknya sendiri. Walaupun demikian fungsi brotherhood juga diperlukan, sehingga mereka yang usianya diatas 10 tahun dari kelompok usia kaum muda perlu juga dilibatkan. Akhirnya kerja bareng ini tidak hanya melibatkan komisi/seksi kepemudaan tapi juga seksi kerasulan keluarga selain kateketik dan juga kerasulan awam.

Contoh lain, dalam menghadapi anak-anak usia SD yang dibombardir dengan tayangan televisi, mereka tidak hanya diperhatikan para Guru Bina Iman yang notabene kaum muda usia SMU/mahasiswa, tapi juga perlu melibatkan para pasutri dengan usia pernikahan < 10 tahun. Seksi SKK pun perlu terlibat didalamnya dalam pendampingan para pasutri yang telah berjanji didepan altar untuk mendidik anak-anak secara katolik. Ini adalah masalah bersama yang perlu dipikirkan secara bersama-sama, bukan hanya satu seksi/komisi.

Kalau paroki memiliki visi membangun kaum muda yang teguh dalam iman dan juga dalam karya maka mereka perlu diberi ruang dalam manajemen paroki. Fungsi mereka bukan hanya petugas tatib, konsumsi dan tukang parkir. Seberapa beranikah Dewan Paroki(DP) memberikan porsi bagi kaum muda dan perempuan dalam kepengurusan DP baik harian maupun pengurus seksi? Cukuplah 2 x kepengurusan dimana masa kepengurusan kedua sudah mempersiapkan ‘putra mahkota’ yang paling tidak usianya 10 tahun dibawah kita. Alasan belum pengalaman adalah klise, nantinya setelah 2 x periode kepengurusan mereka yang muda pun sudah memiliki pengalaman dan sudah tidak muda lagi. Rasanya kalau setiap pengurus DP mau melakukannya, maka paroki menjadi lebih ‘muda’ dan dinamis serta diperbaharui senantiasa. dinamika paroki akan sangat tergantung pada komposisi kepengurusan Dewan Paroki.

Tantangan berat berikutnya adalah keberanian orang muda yang ‘mau’ duduk dalam kepengurusan DP untuk mengambil tanggung jawab lebih dari sekedar umat biasa. Soal kemampuan bisa ditambahkan kemudian, toh kepengurusan bisa dipersiapkan 6 bulan kemudian sehingga cukup waktu untuk pembekalan diri.

Saya percaya setiap paroki memiliki para aktivis yang sangat suka bekerja keras, tapi sayangnya tidak terbiasa bekerja sama lintas seksi, lintas lingkungan dan lintas generasi. Sama-sama kerja keras kita tingkatkan menjadi kerja kerasnya sama-sama. Bicara Pastoral Orang Muda mau tidak mau harus membahas komposisi Dewan Paroki. Bila diabaikan maka masalah di atas akan terus muncul dari tahun ke tahun, dan kita tidak pernah akan memiliki pemimpin-pemimpin yang mumpuni ditengah masyarakat. Marilah menjadi Gereja yang bertumbuh untuk menjadi semakin dinamis. SEMPER REFORMANDA (RA)

2 Comments

  1. kalau dalam pemilu 2009 didengungkan “jangan pilih stock lama” kiranya sah-sah saja jika dalam penyusunan dewan paroki didengungkan “pilih orang muda”… kalau tidak pernah diberi kesempatan, bagaimana bisa memiliki pengalaman?

  2. Setuju sekali mbak Ari, gimana kalau mulai dengan paroki sendiri? Biasanya memang pemilihan Dewan Paroki tidak dilakukan dengan pencoblosan seperti pemilu atau pilkada. Tetapi tentu mekanisme bisa disesuaikan dengan ketentuan yang diinginkan. Bisa saja diusulkan dan disosialisasikan pada umat untuk adanya keterwakilan perempuan 30 % dan orang muda 40% dalam menentukan calon-calon pengurus baru. Hal ini juga sama diberlakukan di kepengurusan lingkungan. Yuk kita mulai duluan.
    Tx ya sudah mampir di blog n salam kenal. Berkah Dalem.

    Mas Hermanu, saya sudah forward usulan anda ke KAS semoga bisa ditindaklanjuti.Menyikapi surat Sri Paus di Hari Misi memang kita harus senantiasa terbuka dengan berbagai cara dan jenis pewartaan agar cinta senantiasa dibagikan.Berkah Dalem.

    Salam kenal juga untuk mbak Inneke. Apa yang berarti bagianak-anak kadang dinilai tidak berarti oleh orang dewasa ya?

Leave a Reply

Required fields are marked *.