Fiat Voluntas Tua

Vitalisasi Paroki: Jemaat Yang Vital

| 0 comments

Sumber: Seri Pastoral 218 : Jemaat yang vital oleh J Hendriks.

TIngkat keterlibatan partisipasi warga jemaat menentukan keberhasilan revitalisasi paroki karena dengan demikian banyak orang mau bertanggungjawab dan akhirnya merasakan bahwa paroki adalah demi kepentingan umat bersama, bukan pastor/pendeta bahkan uskup. Semakin banyak orang dapat memaknai kembali panggilannya dalam berjemaat, maka semakin menjadi vital dan menarik

Perubahan dalam rangka revitalisasi paroki perlu dipersiapkan dan dicermati perkembangannya agar mendapatkan hasil yang sesuai dengan pengertian manusia tentang yang baik dan membahagiakan sejalan dengan pengalaman bergaul dengan Allah. Oleh karena itu bagi pembangungan jemaat dirasa penting untuk mengidentifikasikan ketegangan, mengerti sebabnya perpecahan , mengelola konflik yang ada agar tidak berdampak buruk bagi jemaat.

Pada akhirnya, berbeda dalam perusahaan atau organisasi sekuler lainnya, dalam menggereja tidak boleh satupun ditinggalkan, termasuk yang melawan dan menolak partisipasi; inilah tantangan untuk menumbuhkan keahlian dalam mengelola paroki. Ada 5 faktor penentu dalam melakukan revitalisasi paroki; Identitas jati diri, tujuan dan tugas, struktur, iklim dan kepemimpinan yang akan dijelaskan sbb:

  1. Identitas jati diri

Kita sebagai kelompok umat beriman perlu memeriksa identitas secara khusus dengan menjawab siapakah kita sebenarnya dan apa tugas perutusan kita sebenarnya.

Sering dijumpai dalam mempersiapkan Misa di lingkungan ataupun kategorial, saat ditanya temanya apa. Umumnya menjawab terserah romo atau pastor saja. Ini adalah tanda-tanda kelemahan dalam mengenali identitas umat. Siapa kah umat yang dilayani, bagaimana tingkat imannya saat ini, apa yang dibutuhkan mereka. Apa juga peran yang dituntut dalam kehidupan bermasyarakat saat ini?

Maka penting untuk dibiasakan memeriksa identitas diri dan komunitas sebelum membuat program dan tindakan selanjutnya. Tidak bisa visi dan misi dibuat tanpa mengenal siapa jemaat yang dilayani. Oleh karenanya perlu sekali pendataan paroki dan lingkungan serta terus menerus memperbaharui data yang ada sehingga bisa menjadikan titiktolak landasan berikutnya.

Contohnya bila menghadapi pro dan kontra, boleh tidaknya prodiakon wanita. Perlu diperhatikan berapa banyak umat lansia yang dilayani dalam paroki atau lingkungan, berapa banyak lansia perempuan, adakah Rumah Sakit yang berada dalam teritorial paroki? Adakah penjara wanita disekitarnya? Pertanyaan di atas tidak akan menjadi pro dan kontra kalau pada akhirnya semua pihak sepakat menghadapi tantangan : bagaimana melayani sekian banyak lansia perempuan terutama yang tinggal tergeletak sendiri di Rumah sakit atau di rumah pada saat jam kerja.

2. Tujuan dan Tugas

Setelah mengenali identitas dan kebuuhan jemaat, maka kita perlu membuat tujuan dan kegiatan yang mendatangkan inspirasi. Ada tiga syarat tujuan dan tugas agar mendatangkan inspirasi:

  • Terkait dengan persoalan nyata dan masalah manusiawi dan kemasyarakatan
  • Mengacu pada inti Injil
  • Mempertimbangkan kemampuan baik individu atau komunal jemaat dan menantang untuk pengembangan nya.

Oleh karenanya penting sekali setiap paroki memiliki visi dan misi yang disepakati. Diharapkan dengan demikian setiap orang yang terlibat akan melakukannya dengan semangat dan efektif. Tidak ada lagi misa lingkungan atau acara kegiatan pertemuan diadakan tanpa tema, tanpa tujuan dan harapan. Semua ada tujuannya sehingga tugas dapat dibuat menjadi menarik untuk dilaksanakan.

3. Struktur yang memberi ruang bagi perbedaan serta penghayatan kesatuan

Hubungan satu sama lain dalam struktur seharusnya memiliki keterlibatan antar umat. Kunjungan pribadi pada jemaat menjadi hal penting dalam pembangunan jemaat. Dalam hal jumlah imam yang sangat sedikit, disinilah peran awam sangat diperlukan dalm hal saling mengunjungi.

Relasi antar berbagai kelompok yang berbeda bidang kegiatannya perlu juga mendapat tempat untuk memenuhi kebutuhannya dengan spiritualitas yang khusus. Demikian pula struktur perlu memberikan ruang agar orang dapat menyalurkan bakat dan karunianya. Para pejabat gerejawi perlu membantu jemaat untuk menemukan tempatnya bila di wilayahnya tidak tersedia. Demikian pula bila memang dibutuhkan satu penghayatan yang menyatukan misalnya munculnya komunitas buruh migran disekitar pabrik, atau karyawati/wan single yang indekost.

Sehingga struktur memberi tepat bagi perbedaan dan ada ruang bagi berbagai kelompok mendapat kesempatan dalam melayani jemaat dengan kekhasan yang merekamiliki. Tantangan nya adalah tetap membangun relasi antara pelaku dalam struktur agar menjadi efektif.

4. Iklim

Iklim yang positif mendorong keikutsertaan, sedangkan iklim yang negatif menyebabkan kebalikannya. Namun tidakbanyak yang menyadari bahwa iklim bisa diperbaiki. Iklim positif bisa dikembangkan. Iklim perlu dirancang, dibangun dan diciptakan untuk menyatakan sejauh mana kita memberikan apresiasi pada umat, terutama umat biasa. Umat perlu diperlakukan sebagai subyek. Faktor lain yang membangun iklim adalah lancarnya komunikasi, tersebar secara merata dan jelas. Umat perlu diperhitungkan sebagai stakeholder, yang menentukan hidup matinya paroki.

Romo Kris bercerita bahwa waktu dia dipindahkan ke salah satu paroki, ia heran melihat pintu gereja ditutup saat Misa; sementara umat yang datang dibiarkan berdiri diluar padahal masih ada tempat duduk didalam. Rupanya ada peraturan dari pastor sebelumnya bahwa kalau Misa dimulai pintu gereja ditutup, karena umat yang terlambat mengganggu konsentrasinya. Akhirnya pastor mencari cara mengajak seluruh pengurus memikirkan jalan keluarnya agar umat tetap diterima masuk ke gereja walaupun terlambat. Ia melihat bagaimana petugas tatib (yang disebut Usher di gereja lain ) memperlakukan umat yang datang ke gereja. Umat disapa, disalami dan disambut dengan senyum. Mereka diberikan lembaran liturgi dan diantar ke tempat duduk yang kosong. Dengan mempelajari berbagai hal dan setelah dirasa cukup melakukan sosialisasi serta pelatihan, seluruh petugas liturgi siap melakukannya. Akhirnya umat semakin merasa terlibat dalam Misa,yang terlambat tidak dihakimi tapi tetap dilayani dengan senyum. Iklim sudah jauh berubah dibanding saat ia datang.

Pertanyaannya apakah selama ini umat diparoki kita diperlakukan dengan hormat, dari segala lapisan dan golongan? Apakah mereka dilibatkan dalam perumusan tujuan sejalan dalam penentuan kebijakan? Tentunya hal ini tergantung sejauh mana umat mendapatkan informasi untuk merumuskan tujuan tersebut.

5. Kepemimpinan

Pemimpin diperlukan untuk menjaga identitas jatidiri jemaat dalam membawa tugas perutusan yaitu membawa kabar baik pada dunia. Pemimpin perlu melakukan interaksi, memberikan sarana/wadah untuk bisa berkarya. Pemimpin harus mampu menjadi fasilitator bilamana ada perselisihan dan perbedaan pendapat. Pemimpin perlu bersifat kooperatif : melayani dan membangun relasi. Maka perhatian pokok Majelis Gereja seharusnya memperhatikan hubungan antara jemaat dengan Allah dan diantara anggota jemaat sendiri serta hubungan antara jemaat dengan masyarakat.

Demikianlah garis kebijaksanaan bagi pembangunan jemaat harus memperhitungkan kelima faktor ini. Iklim yang membangkitkan semangat akan terjadi bila orang dipandang sebagai subyek. Karena itu kunjungan keluarga yang dilakukan pengurus lingkungan menjadi salah satu tolok ukur yang perlu diperhatikan. Ini bisa dilakukan kalau kita berani merombak struktur yang memungkinkan hal di atas, memberi ruang bagi sebanyak mungkin pribadi dan kelompok. Pengenalan jatidiri terus menerus perlu ditanamkan dalam iklim yang positif, sehingga gereja tidak pernah berhenti berkembang. Semper Reformanda. Dengan demikian dapat dirumuskan tujuan dan tugas konkret. Inilah tugas terus menerus bagi kepemimpinan dalam jemaat, Majelis Gereja, menjaga agar jati diri sungguh dipahami.

Leave a Reply

Required fields are marked *.