Fiat Voluntas Tua

30 Mei HARI DOA SEDUNIA UNTUK PENGUDUSAN PARA IMAM

| 0 comments

Pro Clericis

Yang terhormat dan terkasih para saudara dalam imamat.

Pada Pesta Hati Kudus Yesus, marilah kita mengarahkan mata hati dan pikiran kita dengan pandangan yang selalu dipenuhi kasih pada Yesus, satu-satunya Penebus hidup kita dan dunia. Berfokus pada Kristus berarti berfokus pada Wajah yang, secara sadar atau tidak, dicari oleh setiap orang sebagai jawaban yang memuaskan terhadap rasa haus yang tak pernah terpuaskan akan kebahagiaan.Hati Kudus Yesus

Kita sudah berjumpa dengan Wajah ini dan kita berjumpa pada hari, pada saat, Cinta-Nya begitu dalam melukai hati kita, sehingga kita tidak dapat lagi menahan diri untuk tiada henti-hentinya memohon hadir di hadapan-Nya. “Tuhan, pada waktu pagi Engkau mendengar seruanku, pada waktu pagi aku mengatur persembahan bagi-Mu, dan aku menunggu-nunggu” (Mzm 5:4).

Liturgi Suci sekali lagi membimbing kita untuk merenungkan Misteri Penjelmaan Sang Sabda, asal dan kenyataan yang mendalam dari persekutuan yang adalah Gereja: Allah Abraham, Iskak dan Yakub telah mewahyukan Diri-Nya dalam Yesus Kristus. “Tak seorang pun dapat melihat Kemuliaan-Nya kecuali disembuhkan terlebih dahulu oleh kerendahan dagingnya…. Karena debu engkau telah menjadi buta, dan dengan debu engkau telah disembuhkan: demikian, daging telah melukaimu, daging menyembuh-kanmu”. (Santo Agustinus, Komentar Injil Yohanes, Homili, 2, 16).

Hanya dengan memandang kembali kemanusiaan Yesus Kristus yang sempurna dan mempesona – hidup dan aktif sekarang – yang mewahyukan diri-Nya kepada kita dan sekarang masih memberikan kepada kita masing-masing cinta-Nya yang istimewa dan sangat menyenangkan, kita dapat membiarkan-Nya menerangi dan mengisi jurang kebutuhan yang adalah kemanusiaan kita, harapan tertentu yang terjumpai dan tentu belas kasih yang merangkul kelemahan-kelemahan kita dan mengajari kita mengampuni apa yang bahkan kita sendiri tidak mampu melihatnya dengan jelas. “Samudera raya berpanggil-panggilan dengan deru air terjun-Mu” (Mzm 42:8).

Pada kesempatan Hari Doa Sedunia bagi Pengudusan para Imam, yang dirayakan pada Pesta Hati Kudus, saya ingin mengingatkan pentingnya doa melebihi kegiatan, karena keberhasilan kegiatan tergantung pada doa. Tugas perutusan Gereja sebagian besar tergantung pada hubungan pribadi setiap orang dengan Tuhan Yesus dan oleh karena itu harus ditopang dengan doa. “Tiba saatnya untuk menegaskan kembali pentingnya doa dalam menghadapi sikap yang mengutamakan kegiatan dan perkembangan sekularisme. (Benedictus XVI, Deus Caritas est, n. 37). Marilah kita tanpa mengenal lelah memohon belas kasihan-Nya, agar berkenan memandang dan menyembuhkan luka-luka dosa kita yang menyakitkan, agar kita dapat mengagumi mukjizat yang selalu baru kemanusiaan kita yang tertebus.

Para saudara seimamat yang terkasih, kita adalah pakar tentang belas kasih Tuhan dalam diri kita dan hanya dengan demikian kita dapat menjadi alat-Nya untuk merangkul kemanusiaan yang terluka dengan cara yang selalu baru. “Kristus tidak menyelamatkan kita dari kemanusiaan kita, tetapi melalui kemanusiaan kita; Ia tidak menyelamatkan kita dari dunia, tetapi Ia datang ke dunia agar melalui Dia dunia dapat diselamatkan” (bdk. Yoh 3:17) (Benedictus XVI, Pesan bagi Dunia dan Kota, 25 Desember 2006). Akhirnya, kita adalah imam melalui Sakramen Tahbisan, tindakan belas kasih Tuhan yang tertinggi dan sekaligus preferensi-Nya yang spesial.

Di tempat kedua, dengan rasa haus dan kerinduan akan Kristus yang tak dapat dihilangkan, dimensi yang paling otentik dari Imamat kita adalah tindakan belas kasih, yakni doa sederhana dan terus menerus yang dipelajari dalam doa hening. Hidup para Kudus selalu diwarnai oleh karakter semacam itu dan perlu terus-menerus dimohon. Kesadaran akan hubungan kita dengan Kristus bergantung pada pemurniaan atas godaan yang kita alami sehari-hari. Setiap hari kita menyadari lagi dan lagi, bahwa bahkan para pelayan yang bertindak in Persona Christi Capitis (dalam Pribadi Kristus Sang Kepala) tidak luput dari drama ini. Kita tidak dapat hidup sedetik pun di hadirat-Nya tanpa kerinduan untuk mengenal-Nya dan terus-menerus menyatukan diri dengan-Nya. Janganlah kita tergoda memandang menjadi imam sebagai suatu beban, yang tidak tak terelakkan dan tidak mungkin didelegasikan, yang mungkin bisa dilaksanakan secara “mekanik” dengan suatu program pastoral yang terstruktur dan koheren. Imamat adalah panggilan, jalan dan cara melalui mana Kristus menyelamatkan kita, telah memanggil kita dan sekarang sedang memanggil kita untuk bersatu dengan-Nya..

Ukuran yang memadai, berkaitan dengan panggilan suci kita, adalah radikalisme. Sadar akan ketidaksetiaan kita, persembahan diri seutuhnya hanya akan terjadi bila ada keputusan yang selalu diperbarui dan penuh doa dari hari ke hari, yang kemudian akan dilengkapi oleh Kristus. Anugerah nyata selibat imamat harus diterima dan dihayati dalam dimensi radikalisme dan konfigurasi sepenuhnya pada Kristus. Pendekatan lain apa pun terhadap realitas hubungan dengan Kristus mengandung resiko menjadi suatu ideologi.

Bahkan tumpukan kerja menggunung, yang kadang-kadang dibebankan kepada kita oleh kondisi pelayanan kita dewasa ini, alih-alih mengecilkan hati kita, harus memacu kita untuk memelihara jati diri imamat kita dengan perhatian yang lebih besar, yang memiliki akar ilahi yang tidak dapat dipertentangkan. Dalam hal ini kondisi khas karya-karya pelayanan sendiri harus mendorong kita, dengan suatu logika yang berlawanan dengan logika dunia, untuk “meninggikan nada” hidup rohani kita melalui kesaksian yang lebih meyakinkan dan lebih efektif bahwa kita melulu milik Tuhan.

Persembahan seutuhnya diajarkan kepada kita oleh Dia yang terlebih dahulu mencintai kita. “Saya siap ditemukan oleh mereka yang tidak mencari saya. Saya berkata, ‘Inilah aku, inilah aku’ bagi suatu bangsa yang tidak menyebut namaku”. Tempat persembahan diri seutuhnya yang paling hebat adalah Ekaristi, karena “dalam Ekaristi Yesus tidak memberi kita ‘sesuatu’, tetapi diri-Nya sendiri; Ia mempersembahkan Tubuh-Nya sendiri dan mencurahkan Darah-Nya sendiri” (Sacramentum Caritatis, n. 7).

Marilah kita setia, para saudara seimamat terkasih, pada Perayaan Ekaristi Maha Kudus harian, tidak hanya untuk memenuhi komitmen pastoral atau tuntutan komunitas yang dipercayakan kepada kita, melainkan karena kebutuhan pribadi kita yang mutlak akan Ekaristi, seperti kebutuhan kita untuk bernafas, akan cahaya untuk hidup kita. Juga karena hal itu merupakan alasan yang memadai untuk eksistensi imamat yang lengkap.

Dalam Ajakan Apostolik Pasca-Sinode Sacramentum Caritatis, Bapa Suci dengan tegas mengungkapkan kembali pernyataan St. Agustinus: “Tidak ada orang menyantap Tubuh Kristus tanpa menyembah-Nya terlebih dahulu; kita berdosa jika kita tidak menyembah-Nya” (St. Agustinus, Enarrationes in Psalmos 98,9). Kita tidak dapat hidup, kita tidak dapat memandang kebenaran tentang diri kita sendiri tanpa membiarkan diri kita dipandang dan dibentuk oleh Kristus dalam Adorasi Ekaristi harian. “Stabat” Maria, “Wanita Ekaristi”, di bawah salib Puteranya, adalah contoh yang sangat berarti tentang kontemplasi dan adorasi Kurban ilahi yang telah diserahkan kepada kita.

Karena semangat perutusan intrinsik dalam kodrat Gereja sendiri, maka perutusan kita merupakan bawaan dalam jati diri imamat. Oleh karena itu mendesaknya perutusan adalah masalah kesadaran diri. Jati diri imamat kita dibangun dan diperbarui hari demi hari dalam “percakapan” dengan Tuhan kita. Konsekuensi yang langsung hubungan kita dengan Dia, yang selalu disuburkan oleh doa yang tetap, ialah kebutuhan untuk mensharingkan hubungan kita dengan Tuhan kepada orang-orang di sekitar kita. Kesucian yang kita mohon setiap hari tidak dapat digambarkan menurut penerimaan masing-masing orang yang steril dan abstrak, tetapi haruslah kesucian Kristus, yang perlu ditularkan kepada setiap orang. “Berkomunio dengan Yesus Kristus membawa kita ‘menjadi bagi semua’-Nya; Hal itu membuat ‘menjadi bagi semua’ merupakan cara berada kita sendiri” (Benedictus XVI, Spe Salvi, n. 28).

“Menjadi bagi semua”nya Kristus bagi kita terpenuhi dalam Tria Munera, yang dari kodratnya merupakan “pakaian” imamat. Munera ini, yang mencakup seluruh pelayanan kita, bukan merupakan tempat pengasingan atau lebih buruk hanya merupakan reduksionisme fungsionalis diri kita, melainkan lebih merupakan ungkapan yang sesungguhnya bahwa kita milik Kristus. Munera merupakan tempat kita berhubungan dengan Dia. Umat yang telah dipercayakan kepada kita untuk dididik, disucikan dan dibimbing bukanlah suatu kenyataan yang mengalihkan perhatian kita dari “hidup kita”. Mereka adalah wajah Kristus yang kita kontemplasikan setiap hari, seperti wajah sang kekasih bagi pengantin laki-laki dan Gereja Pengantin-Nya bagi Kristus. Umat yang dipercayakan kepada kita adalah jalan yang harus ada bagi kesucian kita. Dengan kata lain umat yang dipercayakan kepada kita adalah jalan, di mana Kristus melalui kita mengungkapkan kemuliaan Bapa.

“Barangsiapa menyesatkan salah satu dari kawanan kecil ini yang percaya kepada-Ku berdosa, lebih baik baginya diikatkan batu kilangan ke lehernya dan ditenggelamkan ke laut yang dalam….sebaliknya, mereka yang membawa kehancuran bagi semua orang orang….apakah mereka perlu menderita dan hukuman apa yang perlu mereka terima?” (St. Yohanes Chrisostomus, De Sacerdotio VI, 1.498). Berhadapan dengan kesadaran pada tugas serius semacam itu dan tanggung jawab besar untuk hidup dan keselamatan kita, di mana kesetiaan kepada Kristus berkaitan dengan “ketaatan” pada kebutuhan yang diperintahkan demi penebusan jiwa-jiwa, maka tak ada ruang untuk meragukan rahmat yang diterima. Kita hanya dapat meminta untuk berpasrah diri sebisa mungkin kepada Kasih-Nya sehingga Ia dapat bekerja melalui kita, dengan demikian kita dapat membiarkan Kristus menyelamatkan dunia, dengan bertindak melalui kita, atau kita berisiko mengkhianati kodrat panggilan kita. Tindakan pengabdian, para saudara seimamat yang terkasih, adalah totalitas yang terus-menerus dan senantiasa baru. Ya, “lima roti dan dua ikan” tidaklah banyak tetapi semua itu mencukupi! Rahmat Allah membuat kelemahan kita menjadi Persekutuan yang memuaskan Umat. Para pastor yang sudah paripurna tugasnya dan sakit yang menjalankan tugas keilahian setiap hari, dengan menyatukan diri mereka sendiri dengan Kasih Kristus dan mempersembahkan imamat mereka sendiri demi kebaikan sejati Gereja dan keselamatan jiwa-jiwa, membagikan diri secara istimewa dalam “pengabdian total.”

Akhirnya, Bunda Kudus Allah tetap menjadi dasar yang sangat diperlukan untuk seluruh hidup imamat. Hubungan dengannya tak dapat dipisahkan dari praktek devosional yang saleh, melainkan dipelihara oleh kepercayaan tak henti kepada tangan-tangan Sang Perawan abadi dalam seluruh hidup kita, dalam pelayanan kita dengan kelengkapannya. Maria Yang Terkudus juga membimbing kita, seperti Yohanes, menuju kedalaman Salib Puteranya dan kepada Allah kita supaya bersamanya dapat merenungkan Kasih Allah yang tak terbatas: “Ia yang bagi kita adalah Sang Hidup sendiri, merendahkan diri di sini dan menanggung kematian kita serta melenyapkannya dengan kelimpahan Hidup-Nya” (St. Agustinus, Confessiones IV, 12).

Demi penebusan kita, demi kepenuhan kemanusiaan kita, demi menyambut Kedatangan Penjelmaan Sang Putera, Allah Bapa memilih untuk menunggu “Fiat” Sang Perawan lewat pemberitahuan seorang malaikat. Maka, Kristus memutuskan untuk mempercayakan Hidup-Nya sendiri pada kebebasan penuh kasih Sang Bunda: “Ia mengandung, melahirkan dan memelihara Kristus, ia mempersembahkan Dia kepada Bapa di kenisah, serta ikut menderita dengan Putera-Nya yang wafat di kayu salib. Maka, dalam cara yang seluruhnya sangat istimewa ia bekerja sama dalam karya Juru Selamat dengan ketaatan, iman, dan harapannya dan kasih yang berkobar-kobar untuk memulihkan hidup adikodrati jiwa-jiwa. Oleh karena itu ia adalah Ibu bagi kita dalam tata rahmat” (Lumen Gentium, n.61)

Bapa Suci St. Pius X menyerukan: “Setiap panggilan imamat berasal dari Hati Allah yang disalurkan melalui hati seorang ibu.” Hal ini benar berkaitan dengan keibuan biologis yang jelas, tetapi juga benar dari “kelahiran” setiap bentuk kesetiaan terhadap Panggilan Kristus. Kita tak dapat bertindak tanpa keibuan rohani bagi hidup imamat kita: marilah kita memasrahkan diri kita sendiri dengan penuh keyakinan kepada doa seluruh Gereja Ibu yang Kudus, pada keibuan Umat, yang memiliki kita sebagai para gembala mereka tetapi kepada merekalah kita mempercayakan pemeliharaan dan kekudusan kita; marilah kita mohon untuk dukungan penting ini.

Yang terkasih para saudara seimamat, ada kebutuhan mendesak akan “gerakan doa, dengan berpusat pada 24 jam adorasi kontinyu pada Ekaristi, sehingga adorasi, rasa syukur, pujian, doa permohonan, dan doa silih akan dipanjatkan kepada Allah, secara terus-menerus dan dari setiap sudut dunia, dengan intensi utama untuk menggerakkan sejumlah panggilan suci menuju status imamat, sekaligus secara spiritual bersatu dalam keibuan rohani yang pasti – di tingkat Tubuh Mistik – bagi semua yang telah dipanggil pada imamat ministerial dan secara ontologis dipenuhi pada Sang Gembala Agung dan Abadi. Gerakan ini akan memberikan pelayanan yang lebih baik kepada Kristus dan saudara-saudara-Nya – mereka yang sekaligus “di dalam” Gereja dan “garis depan” Gereja, yang berdiri di tempat Kristus (bdk. Pastores Dabo Vobis, no. 16), dan melambangkan-Nya sebagai Kepala, Gembala dan Mempelai Gereja” (Letter of the Congregation of the Clergy, 8 December 2007).

Bentuk lanjut dari keibuan rohani baru-baru ini telah dibuat garis besarnya. Bentuk ini secara diam-diam selalui menyertai lapisan para pastor terpilih dalam perjalanan sejarah Gereja. Inilah penyerahan konkret pelayanan kita kepada wajah istimewa, kepada jiwa tertahbis yang telah dipanggil oleh Kristus dan dengan demikian memilih untuk memberi dirinya sendiri, dengan menerima penderitaan dan perjuangan hidup yang tak dapat dielakkan, untuk menjembatani kehidupan imamat kita, dengan cara demikian tinggal dalam kehadiran Kristus yang manis.

Fungsi keibuan ini, yang mengemban wajah penuh kasih Maria, perlu didoakan karena Allah sendiri dapat menjadikannya ada dan mempertahankannya. Dalam hal ini ada banyak contoh bagus; hanya merenungkan airmata kebaikan Santa Monika bagi puteranya Santo Agustinus, yang tangisannya “lebih daripada ibu yang menangis ketika meratapi kematian anak-anak mereka.” (Santo Agustinus, Confessiones III, 11)

Hal mengagumkan lainya seperti Eliza Vaughan, seorang ibu yang telah melahirkan 13 anak dan menyerahkan anak-anak mereka kepada kehendak Tuhan; Enam orang dari delapan anak laki-laki menjadi imam, dan empat orang dari lima anak perempuan menjadi suster. Karena hal itu tidaklah mungkin menjadi imam sejati dihadapan Kristus, yang dengan mengagumkan tersembunyi di dalam Misteri Ekaristi, tanpa memohon pertolongan dan doa-doa, dari mereka yang dia tetapkan bagi kita. Marilah kita jangan takut untuk menyerahkan diri kita kepada keibuan yang sungguh dihadirkan nyata oleh Roh Kudus di dalam diri kita.

St. Theresia dari kanak-kanak Yesus, sadar akan kebutuhan yang sungguh-sungguh untuk para imam, secara khusus bagi mereka yang sangat membutuhkan doa; dia menulis surat kepada saudarinya Celine, “Marilah kita hidup untuk jiwa-jiwa, marilah kita menjadi rasul-rasul, marilah kita selamatkan terutama semua jiwa-jiwa para imam…Marilah kita berdoa dan mati raga untuk mereka dan sampai pada akhir hidup Yesus akan memberikan kepenuhan (Saint Théresè of Lisieux, Letter 94).

Marilah kita percayakan diri kita kepada pengantaraan Bunda Maria terberkati, Ratu Para Rasul, Bunda kita yang termanis; marilah kita melihat Kristus dengan ibu-Nya; berusaha dengan tiada henti-hentinya dengan sungguh-sungguh, total, dan radikal, itulah identitas kita!

Marilah kita ingat kata-kata dari Pastor d’Ars, Pelindung Para Pastor Paroki: ” Jika saya telah menapakkan satu kaki di Surga dan saya diperintahkan kembali ke bumi untuk bekerja mempertobatkan para pendosa; aku akan pulang dengan gembira. Dan jika melakukan ini dengan sungguh, aku harus tetap tinggal di bumi sampai akhir dunia. Selalu bersinar di tengah kegelapan malam dan menderita sebagaimana saya menderita, aku akan menjagamu semua dalam hatiku” (Brother Athanase, Procès de l’Oridinaire, p. 883).

Semoga Tuhan menuntun dan melindungi kita masing-masing dan setiap orang, secara khusus bagi mereka yang sakit dan paling menderita, di dalam pemberian diri hidup kita demi cinta.

Cardinal Cláudio Hummes

Prefect

+ Mauro Piacenza

Titular Archbishop of Victoriana

secretary

Disebarluaskan oleh :
Sekretariat Komisi Seminari KWI
Jl. Cut Mutiah 10 Jakarta 10340
Telp : 021-3193-5541
Fax : 021-3190-7046
E-mail : komsem@kawali.org

Diambil dari Surat Kongregasi Klerus
Vatikan, 14 April 2008
Doa Imam pada Hari Doa Sedunia
untuk Pengudusan para Imam
(Hari Raya Hati Yesus Yang Maha Kudus

Leave a Reply

Required fields are marked *.