Fiat Voluntas Tua

Menciptakan habitus baru: meniadakan premanisme mulai dari “rumah” kita

| 0 comments

(Majalah HIDUP # 29 / 2006 Penulis : Ratna Ariani)

Penyelesaian masalah dengan cara dan gaya Premanisme adalah bagian dari masyarakat kita saat ini. Seolah-olah itulah cara yang paling dianggap benar manakala jalan keluar tidak sesuai dengan yang diharapkan. Premanisme atau gaya hidup seperti “preman” yang memaksakan kehendak dengan berbagai cara untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Yang terjadi adalah pemaksaan dari yang “kuat” menekan yang “lemah”, baik dengan ancaman atau bahkan dengan senjata. Tidak ada ruang untuk dialog, hanya dikenal “ya” dan “sekarang”. Tidak perduli pendapat orang lain kecuali jawaban ”lihat aja nanti” atau ”awas ya!”

Rasanya kita sudah bingung mana yang benar yang harus ditiru dan diikuti. Apakah begini cara hidup yang “benar” dan berlaku di masyarakat? Bahkan proses yang seharusnya mudah pun dipersulit seperti iklan “tanya kenapa?” hanya agar diberikan “pelicin”. Potret masyarakat adalah juga potret Gereja sebagai kumpulan umat beriman yang notabene juga anggota masyarakat. Kelakuan masyarakat juga adalah akibat umat Nya yang (sebagian) ikut terlibat atau paling tidak hanya berdiam diri melihat praktek-praktek subur semacam ini. Kita menolak militerisme tapi memeluk erat dan menghidupi jiwa dan perilaku militeristik yang jauh lebih jahat dari militer itu sendiri. Kita marah kalau ada oknum tentara yang sewenang-wenang terhadap rakyat sipil. Tapi kita diam-diam membiarkan masyarakat sipil yang bertindak dengan cara “militer”. Mari kita memeriksa diri sebelum menunjuk orang lain. Apakah dirumah kita sendiri melatih ”premanisme”? Memaksakan kehendak pada anak-anak ”mumpung” kita jadi orang tua dengan memukul, dengan ”kata-kata” seindah kebun binatang, bahkan mengancam dengan mengusir dari rumah. Banyak anak-anak muda mengalami kapahitan dan depresi ….

karena perlakuan orang tuanya. Kekerasan dalam rumah tangga juga ada di keluarga yang telah menerima Sakramen Pernikahan. Mereka biasa melihat bapak-ibunya bertengkar, baik istri yang ”menceramahi” suami atau sebaliknya suami yang tega memukul istri. Apalagi perlakuan terhadap pembantu rumah tangga dan baby sitternya. Tidak heran kalau anak-anak seperti ini akan meniru dengan menekan teman-temannya yang lebih kecil, yang tidak berdaya dengan cara yang sama. Keluar dari rumah, anak-anak pun tumbuh dan biasa hidup dengan kekerasan dan membawanya ke dalam sekolah…. sekolah katolik lagi! Anak kelas 2 SD pun tidak berani membawa uang saku karena setiap hari diminta setor seribu rupiah oleh teman sekelasnya …….. perempuan lagi! Apalagi yang SMP dan SMU, bibit ilalang kekerasan menjadi tumbuh subur saat sekolah-sekolah katolik mengadakan Masa Orientasi Siswa. Wah… ini kesempatan besar untuk menunjukkan siapa kakak tergalak, terbengis dan bisa bikin banyak yunior menangis. Bahkan antar sekolah katolik di Jakarta saling memanas-manasi mana MOS yang paling ”gerah” sampai Kepala Sekolah dan para gurupun hanya berkata ” itu biasa bu, bagian dari perkenalan.” Lho? ”Perkenalan” kok setahun lamanya, bahkan tidak hanya dalam lingkungan sekolah. Sampai di mall-mall pun kalau ketemu kakak kelas langsung sikap para yunior jadi ’mengkerut” menunduk seperti ayam kalah tanding. Bahkan beberapa anak kelas 1 SMU sampai tidak mau pergi ke mall karena takut bertemu kakak kelas.

Budaya MT (em te) mulai merasuk dalam diri anak-anak yunior. MT istilah yang sangat tidak kristiani. MT atau Makan Teman namanya, kalau berani menceritakan kejadian-kejadian di sekolah tentang teman dan kakak kelas ke orangtua atau guru. Dianggap mereka tidak setia kawan dengan mengadukan perlakuan2 ”tidak wajar” tersebut. Apakah itu tindakan bertanggung jawab?Tidak cukup MOS SMP dan SMU, tapi sampai 3 x waktu masuk Universitas … juga katolik, masih harus melewati Masa Orientasi yang lebih ganas… sampai korbannya perlu dibawa ke Rumah Sakit. Itu yang sekolah katolik, yang bukan katolik….lain cerita lagi! Mau sampai kapan kita mendidik anak-anak tanpa jauh dari ilalang premanisme? Memang untuk orang tua yang ”mampu” mereka bisa mengirim anaknya ke sekolah-sekolah yang PLUS tapi MINUS Pekan Orientasi, tentunya dengan biaya super mahal. Tapi bagaimana dengan orang tua yang pas-pasan? Justru yang pas-pasan inilah yang jumlahnya banyak dan menjadi korban ajang premanisme di sekolah…. dan bisa tertular dengan menerima pola gaya hidup premanisme.

Tidak bisa kah kita sebagai orang tua ambil bagian dalam POM Persatuan Orangtua Murid dan mengusulkan untuk meniadakan Pekan Orientasi yang sifatnya fisik, dan menggantinya dengan cara yang lebih mendidik bersama para psikolog dan pendidik. Di negara maju tidak dikenal gaya Orientasi Siswa model begini. Biarlah para kakak senior berlomba-lomba dan bangga menjadi OSIS yang menerapkan Pekan Orientasi yang paling menarik, yang tidak membuat para yunior takut dan merasa diterima sebagai keluarga sekolah tersebut. Demikian juga para guru dan Kepala Sekolah bisa mengambil bagian dalam penumpasan ilalang premanisme dengan mengubah total Pekan Orientasi yang sungguh-sungguh mengajarkan nilai-nilai kristiani. Apalagi bila diikuti para SENAT MAHASISWA di tiap Fakultas di Perguruan Tinggi Katolik.

Pelan tapi pasti akan tercipta bibit-bibit gandum yang tumbuh subur tanpa ilalang. Jangan bicara habitus baru kalau di institusi pendidikan katolik sendiri kita tidak mampu menciptakannya. Ini hanya mungkin bila kita sungguh-sungguh memahami ajaran dan gaya hidup Yesus. Tidak ada ditemukan dalam satu kitabpun dalam Injil, dimana Yesus meminta murid-muridNya masuk Pekan Orientasi dengan cara di plonco untuk melakukan hal-hal aneh. Ia justru menunjukkan bagaimana menjadi hamba yang melayani umatNya sebelum membuat mereka menjadi pemimpin. Ia selalu berdoa dan merefleksikan kegiatan hariannya, itulah pemimpin sejati. Menumbuhkan budaya reflektif perlu dimulai dari keluarga, dari kita sendiri sebagai orang tua terhadap anak-anak dan di lingkungan sekolah. Perlu diciptakan suasana untuk mendengar suara hati, mendengarkan suara orang lain dengan dialog dan merenungkan pengalaman-pengalaman akan menumbuhkan budaya reflektif. Mulailah dengan di rumah sendiri dan disekolah sendiri.

Inilah gerakan akar rumput, gerakan Komunitas Basis Gerejani yang sesungguhnya. Marilah kita mulai dengan diri kita sendiri, menjadi pasutri yang mendidik dengan kasih, saling menghargai dan menjauhkan kekerasan didalam rumah tangga sendiri. Sebagai orang tua murid kita juga merelakan diri untuk aktif dalam POM untuk membantu Kepala Sekolah dan Pendidik menciptakan suasana reflektif dalam sekolah baik mulai dari TK sampai SMU. Gerakan menciptakan habitus baru hanya mungkin dimulai dari satu orang, yang digerakkan oleh pimpinan Allah Roh Kudus, mungkinkah itu anda?

Leave a Reply

Required fields are marked *.