Fiat Voluntas Tua

Kardinal Tauran, Bangun Dialog Antaragama

| 0 comments

Sabtu, 28 November 2009 | 03:56 WIB Oleh H. Witdarmono Silakan

Sumber http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/11/28/03565647/kardinal.tauran.bangun.dialog.antaragama

Peristiwa menara kembar World Trade Center di New York, Amerika Serikat, 11 September 2001, telah mengubah wajah agama. Agama bisa dijadikan legitimasi untuk menebar teror. ”Tak ada gunanya kita beragama. Agama telah meracuni semuanya,” kata Christopher Hitchens, penulis buku God is Not Great: How Religion Poisons Everything, 2007.

Kardinal Jean-Louis Tauran, Presiden Pontifical Council for Interreligious Dialogue (PCID), menilai peristiwa ”9/11” dan buku Hitchens membuat orang muda di berbagai belahan dunia meninggalkan agama. Mereka tak ingin tahu agama. Bahkan, bagi mereka, mengolok-olok agama, mencemarkan para tokohnya dengan karikatur bukan lagi hal tabu.

”Pencemaran agama bukanlah sebuah kemajuan peradaban,” ungkap Kardinal Tauran dalam pertemuan dengan para tokoh Nahdlatul Ulama di Jakarta, Kamis (26/11). ”Paus Benediktus XVI mengecam keras pencemaran agama,” katanya.

Urusan eksistensi agama, khususnya bagaimana membangun dialog antaragama, merupakan alasan Kardinal Tauran berkunjung ke Indonesia. Sebagai Presiden PCID atau Dewan Kepausan untuk Dialog Antaragama (jabatan setingkat menteri), Kardinal Tauran mengajak para pemimpin agama di berbagai negara untuk menempatkan kembali agama sebagai jiwa kemanusiaan.

”Indonesia menjadi istimewa dalam kaitan dengan eksistensi agama, dengan jumlah umat Islam terbesar di dunia. Yang dilakukan umat Islam di sini berpengaruh bagi wajah Islam di dunia,” ungkapnya saat bertemu para tokoh Muslim di Wahid Institute, PBNU, dan PP Muhammadiyah.

Kardinal Tauran baru pertama kali ke Indonesia. Namun, sejak menjadi Presiden PCID tahun 2007 ia sudah mengunjungi negara-negara yang mayoritas penduduknya bukan umat Kristen. ”Ternyata hambatan terbesar dialog antaragama adalah ketidaktahuan. Semoga hal ini tak saya temui di Indonesia.”

”Ketaktahuan adalah musuh dari sebuah dialog,” tegas Kardinal Tauran yang akan bertemu dengan para tokoh agama di Bali, Makassar, dan Yogyakarta.

Sisi kemanusiaan

Lahir dan besar di Bordeaux, Perancis, Tauran berusaha melihat sisi kemanusiaan dalam setiap masalah, baik saat menjadi Menteri Luar Negeri Vatikan (1990-2003) maupun ketika menjadi Presiden PCID. Contohnya, saat dia bertemu Presiden Iran Khatami.

”Hampir semua diplomat Eropa mengatakan, Iran adalah negara yang ’sulit’. Tapi, ketika bertemu Presiden Khatami, saya bisa berdiskusi dan berbincang soal Thomas Aquinas, teolog klasik Katolik, yang ajarannya menjadi pelajaran wajib semua calon imam Katolik. Saya tak menduga, Presiden Khatami membaca buku-buku Thomas Aquinas,” ujarnya.

Kembali kepada kemanusiaan, itu pula yang menjadi dasar Kardinal Tauran dalam upaya dialog antaragama, salah satu sarana utama diplomasi luar negeri Vatikan.

”Sebagai manusia, kita sama di hadapan Tuhan. Kita semua adalah saudara. Masing-masing di dalam diri ada kehadiran ’Yang Suci’. Maka, berkaitan dengan dialog, khususnya dialog antaragama, saya tak suka memakai kata ’toleransi’. Kata itu sering dipakai secara salah. Seorang saudara tak ingin ditoleransi, ia ingin dicintai,” jelasnya.

Kardinal Tauran prihatin terhadap hubungan antara penduduk asli Eropa yang kebanyakan beragama Kristen dan penduduk pendatang yang beragama Islam. Ia melihat kedua kelompok itu tak sungguh-sungguh saling mengenal. Ketika kedua kelompok itu harus tinggal bersama, yang diusahakan hanya toleransi.

”Sifat toleransi adalah merumuskan batas. Tujuannya menghindari konflik. Namun, ketika batas itu tersentuh, konflik mudah terjadi. Sebaliknya dengan cinta, ia tak memiliki batasan,” ujarnya.

Pendidikan

Menurut Kardinal Tauran, salah satu cara menumbuhkan sikap saling mengenal yang melampaui toleransi adalah pendidikan. Ia menunjuk contoh Perancis.

”Banyak orang Perancis sama sekali tak tahu apa itu Islam. Kami hanya melihat Islam dari sosok imigran Maroko, Aljazair, dan Turki. Maka, agar mengenal Islam, mulailah di sekolah diajarkan sejarah Islam. Para murid mendapat penjelasan, Islam adalah sebuah realitas agama dengan nilai religius dan kemanusiaan yang tinggi.”

”Di sinilah, khususnya dalam hubungan dialog antaragama, sekolah menjadi penentu masa depan harmoni antarmanusia,” tegasnya.

Kardinal Tauran merasakan pentingnya sekolah dan pendidikan dalam hubungan antaragama. Sebagai warga Perancis, ia menjalani wajib militer di Lebanon tahun 1965, kala negeri itu masih seperti ”surga”. Ia kembali ke Lebanon sebagai Duta Vatikan tahun 1979-1983, saat Lebanon dilanda perang saudara.

”Waktu itu saya tak mengerti, mengapa Lebanon bisa berubah. Masyarakatnya terpecah dan krisis sosial terjadi di mana-mana. Itulah kenyataan yang menjadi ’sekolah’ saya untuk memahami berbagai masalah Timur Tengah dan Islam. Lebanon menjadi jendela untuk melihat dunia Islam. Saya makin menyadari, Islam bukan sebuah blok yang monolit. Islam memiliki berbagai corak yang sangat kaya. Di Lebanon dan Suriah, misalnya, saya menemukan corak Islam yang tulus, di mana kami bisa saling bicara mengenai kebudayaan, karya kasih, dan perdamaian,” ujarnya.

Saling menghargai

Setelah peristiwa ”9/11” khususnya, banyak negara mulai mengedepankan dialog antarkepercayaan untuk harmoni dan perdamaian sebagai bagian dalam hubungan (diplomasi) antarbangsa. Dalam kaitan ini, agama dilihat sebagai substansi kebudayaan (Paul Tillich, Theologie de la Culture, 1978). Sejarah menunjukkan, tak ada satu pun kebudayaan yang tidak didasarkan agama atau kepercayaan.

”Namun, janganlah karena hal ini, dialog antaragama dipandang sebagai strategi untuk menarik orang menjadi pemeluk agama tertentu. Menjadi pemeluk agama adalah sebuah misteri antara manusia dan Tuhan. Ia tak bisa dikendalikan, bahkan diatur,” kata dia menjawab pertanyaan dalam dialog nasional Muslim-Kristen bertajuk ”Building Trust for Social Justice” yang diadakan PP Muhammadiyah di Jakarta, Kamis (26/11).

Kardinal Tauran lalu menguraikan betapa dialog antaragama tak hanya sebuah pilihan, tetapi harus menjadi kebutuhan hidup yang menentukan masa depan kemanusiaan. Secara konkret ia mengajak agar setiap pemeluk agama—dengan tetap berpegang terhadap keyakinannya—mulai mengenali, menghargai, bahkan mungkin menimba keunggulan spiritualitas agama-agama lain.

”Untuk ini, perlu ketulusan dan tingkat pendidikan yang matang. Masalah lain adalah bagaimana dialog antaragama ini dapat diwujudkan di tingkat akar rumput,” ujarnya.

Ini menjadi pekerjaan rumah yang tak mudah bagi para elite agama karena perbedaan tingkat pendidikan masih menjadi kendala utama. (H Witdarmono Wartawan)

JEAN-LOUIS TAURAN

• Lahir: Bordeaux, Perancis, 5 April 1943 • Pendidikan: • Sarjana Filsafat dan Teologi, Universitas Gregoriana, Roma, 1969 • Doktor Hukum Gereja, Universitas Gregoriana, Roma, 1973 • Jabatan: • 1979-1983: Duta Vatikan untuk Republik Dominika, lalu untuk Lebanon • 1990-2003: Menteri Luar Negeri Vatikan • 2007–kini: Presiden Dewan Kepausan untuk Dialog Antaragama

Leave a Reply

Required fields are marked *.